PUNCA.CO – Baru-baru ini ada sebuah kabar mencuat di kampus dengan nama salah seorang Ulama besar yakni Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Kabar duka menyelimuti pori udara dari lumbung intelektual. Sebuah maklumat membuat mata tercengang dan hati berdigik ngilu. Sebuah film dokumenter dengan judul “Pesta Oligarki” hasil tempaan Watchdoc dilarang untuk diputar dan ditampilkan.
Seakan berhasil mengkonfrontasi, kepanikan mencuat dari seorang kepala otorita UIN Ar-Raniry melalui rilis dari sumberpost.com pada tanggal 5 November 2024. Rektor UIN yang terimplementasi melalui seorang Prof. Dr. Mujiburrahman dengan narasi yang dipenuhi kecakapan mengutarakan bahwa “persoalan masa lalu tak layak untuk menjadi perbincangan di masa kini.” Ujaran tersebut menjadi runtut kembali dengan kalimat “Hari ini, oligarki dikaitkan dengan pemerintahan pak Prabowo, itu tidak tepat. karena saya melihat komitmen pak Prabowo tidak mengarah kesana.”
Ungkapan tersebut mengafirmasi asumsi awal dari sebuah kepanikan dan ketakutan yang merajut seorang pemimpin sebuah kampus yang cukup megah di Aceh. Kampus yang menjadi salah satu tempat dengan lulusan-lulusan hebat ini seakan berusaha mengikat keleluasaan berfikir menjadi biasan paceklik yang harus didera dengan titah baku otoritas.
UIN Ar-Raniry gagap dan gugup
Fakta tersebut harus menjadi anggukan kala semua mata melihat bagaimana penggembosan ruang berfikir dan berdialog semakin dibredel. Sela-sela demokrasi yang seharusnya terus dirawat ditengah ketidakpastian kondisi negara justru dihadang dengan pena kuasa. Ar-Raniry menangis.
Taji atas ketajaman berfikir yang dulunya menjadi tabuhan di setiap ruang-ruang kelas harus gagal dalam upaya merawat relasi kuasa. Kita akan sangat merindukan sosok seorang Rektor yang bernama Safwan Idris yang harus mengorbankan nyawa demi prinsip teguh intelektual. Kerinduan tersebut semakin membuncah kala melihat sosok Rektor yang hari ini bersinggasana dengan tegap di tengah kondisi yang semakin merunduk. Alih-alih membangkitkan pundi yang remuk, justru langkah pasti penindasan terus saja diramu melalui pembegalan atas hak-hak intelektual.
Secara implisit, narasi-narasi rayuan atas penjegalan tersebut seumpama racun yang tak hanya menjadi musibah atas kehidupan berdemokrasi tapi juga ujung tombak otoritarianisme yang semakin membelenggu.
Pencabutan izin penggunaan ruangan penayangan film Pesta Oligarki dengan dalih “keamanan” adalah ancaman dan klaim sebenarnya. Bagaimana tidak? Dalam UU No.12 Th. 2005 yang menyebutkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh negara.
Sangat disayangkan bagaimana kegugupan tersebut keluar dari seorang Rektor yang mengampu seluruh tanggung jawab moril di tengah ketidakpastian ruang yang semakin diberangus.