PUNCA.CO – Pada debat kedua calon gubernur dan wakil gubernur Aceh, salah satu topik yang dibahas adalah kasus korupsi proyek wastafel. Kasus ini kembali mencuat setelah persidangan dimulai di pengadilan.
Inilah awal babak baru dalam kasus korupsi wastafel, di mana selama proses pengadilan, banyak pihak disebut sebagai dalang, aktor, dan pihak yang terlibat di balik layar. Jalannya persidangan mengungkap struktur korupsi ini secara rapi, yang kemudian diulas oleh media.
Banyak nama yang muncul dalam proses perencanaan, penganggaran, penunjukan langsung, hingga pelaksanaan yang menyebabkan proyek wastafel ini merugikan negara dan terindikasi korupsi.
Nama-nama yang disebutkan oleh saksi dalam persidangan, yang diduga berkolaborasi dalam kasus ini, seharusnya merasa malu dan bertanggung jawab, meskipun status keterlibatan mereka masih sebatas dugaan.
Bagaimana masyarakat bisa mempercayai calon pemimpin yang sering disebut sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam kasus korupsi? Terlebih lagi, Aceh adalah daerah yang menerapkan syariat Islam, di mana seharusnya calon pemimpin bebas dari segala tuduhan, termasuk dugaan korupsi.
Seorang pemimpin yang akan mengemban amanah rakyat harus menunjukkan keteladanan, dan apabila seorang calon pemimpin masih terlibat atau disebut-sebut dalam dugaan korupsi wastafel, hal ini menjadi persoalan.
Calon pemimpin yang ingin dipercaya rakyat harus bebas dari jerat atau dugaan korupsi sebagai modal awal untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, sudah sepatutnya masyarakat memilih pemimpin yang tidak terbebani oleh masalah apa pun, termasuk dugaan korupsi, demi kemajuan Aceh sekarang dan di masa depan.