PUNCA.CO – Sebanyak 18 nelayan asal Aceh Timur ditangkap otoritas maritim Thailand pada Senin pagi, 19 Mei 2025. Penangkapan terjadi di kawasan perbatasan laut antara Aceh dan Thailand.
Mereka dituduh melanggar batas wilayah perairan dan melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).
Berdasarkan laporan yang diterima, dua kapal nelayan asal Aceh Timur yang semula hilang kontak sejak pagi ternyata telah diamankan oleh patroli laut Thailand dan kini berada di Phuket.
“Kami mendapat laporan dari anggota DPRK Aceh Timur terkait hilangnya dua kapal nelayan. Setelah kami telusuri dan berkomunikasi dengan pihak KRI Songkla di Thailand, ternyata benar bahwa kapal dan seluruh awaknya telah ditangkap,” ujar Haji Uma dalam pernyataan resminya, Rabu (21/5/2025).
Dua kapal yang dimaksud adalah KM Jasa Cahaya Ikhlas, dinakhodai oleh Umar Johan dengan 12 awak, dan KM New Rever yang dinakhodai oleh Ridwan dengan 6 orang nelayan. Kini, total 18 nelayan tersebut berada dalam pengawasan pihak berwenang Thailand.
Haji Uma mengonfirmasi bahwa Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Songkla telah melakukan verifikasi dan tengah menyiapkan pendampingan hukum. Salah seorang staf KRI bernama Jesica memastikan bahwa tim dari konsulat telah turun ke lapangan untuk mengecek kondisi para nelayan dan memfasilitasi proses hukum mereka.
“Tuduhan sementara terhadap para nelayan kita adalah memasuki wilayah perairan Thailand secara ilegal dan melakukan penangkapan ikan tanpa izin,” jelas Haji Uma.
Ia menegaskan bahwa proses hukum di negara lain tetap harus dihormati. Namun, bila dalam proses tersebut ditemukan pelanggaran prosedur, pihaknya akan menempuh jalur hukum demi membela kepentingan para nelayan Aceh.
“Kita tentu belum bisa menilai siapa yang benar dan salah. Tapi kalau ada kekeliruan atau ketidaksesuaian dalam prosesnya, negara harus hadir. Kita akan kawal terus melalui jalur hukum dan diplomasi,” tegas Haji Uma.
Lebih lanjut, ia menyampaikan keprihatinannya karena kasus seperti ini terus berulang. Menurutnya, para nelayan kecil di Aceh, khususnya di kawasan timur dan utara, masih minim pemahaman soal batas wilayah dan tidak memiliki alat navigasi yang memadai.
“Ini bukan kejadian pertama. Saya selalu mengingatkan nelayan agar hati-hati. Tapi mereka belum punya alat navigasi yang mumpuni. Kadang, tanpa sadar, sudah berada di perairan negara lain. Yang paling menderita tentu keluarga mereka di kampung,” ucapnya.