PUNCA.CO – Pernyataan Mendagri Tito Karnavian terkait persoalan empat pulau di Aceh Singkil, adalah bentuk kekeliruan yang sangat disayangkan. Empat pulau yang bukanlah wilayah abu-abu, tapi sudah lama secara historis sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
Pernyataan agar Provinsi Aceh mengajukan gugatan ke PTUN bukan hanya menyulut emosi di tengah masyarakat Aceh, tapi juga memunculkan pertanyaan, mengapa wilayah yang sudah disepakati tahun 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, kini disahkan kepada Sumut, bukankah itu justru membuka ruang konflik yang tidak perlu?
DEMA FISIP UIN Ar-Raniry melihat ini sebagai bentuk pengabaian terhadap hak dan martabat masyarakat Aceh. Tidak hanya itu, komentar terbaru Mendagri Tito Karnavian dinilai menunjukkan ‘mental kolonial’, seperti yang disampaikan oleh Prof. Ahmad Humam Hamid beberapa waktu lalu. Seolah-olah Aceh bisa diperlakukan sebagai objek politik belaka tanpa mempertimbangkan sejarah dan perasaan masyarakatnya. Sikap semacam ini sangat berbahaya, apalagi mengingat Aceh adalah daerah yang memiliki latar sejarah konflik dan perdamaian yang belum genap dua dekade.
“Sebagai mahasiswa Aceh, kami menolak segala bentuk klaim sepihak, apalagi jika hanya berdasar pada argumen ‘kedekatan geografis’ tanpa melihat sisi historis. Itu alasan lemah,” ujar Alqadri, Ketua DEMA FISIP UIN Ar-Raniry, Sabtu (14/6/2025).
Aceh memiliki otonomi khusus sesuai UU No. 11 Tahun 2006. Artinya, segala bentuk penataan wilayah harus melibatkan Pemerintah Aceh secara sah. Jika hal ini diabaikan, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga penghinaan terhadap proses panjang perdamaian yang telah dibangun sejak MoU di Helsinki.
“Empat pulau itu milik Aceh. Titik. Tidak ada negosiasi terhadap persoalan wilayah teritorial. Jangan ubah batas kami demi kepentingan politik pusat. Ini bukan sekadar soal peta, tapi soal harga diri, sejarah, dan perjuangan,” tutup Alqadri.