PUNCA.CO – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik nasional, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. Keputusan tersebut dinilai menjadi preseden buruk dan menodai esensi awal amnesti, yang selama ini dipakai sebagai alat untuk menciptakan perdamaian atau meredakan konflik bersenjata, kini dipakai sebagai jalan keluar bagi kasus korupsi.
Keputusan amnesti yang diberikan kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong menimbulkan pertanyaan serius tentang arah kebijakan hukum dan etika politik di era kepemimpinan Prabowo.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah hukum Indonesia, pemberian amnesti bukan hal baru. Pada 27 Desember 1954, amnesti pertama kali digunakan sebagai upaya rekonsiliasi politik antara Indonesia dan Belanda.
Baca juga: Dedi Darwis: Klub Bintang Aceh Siap Rebut Juara Piala Soeratin U15 dan U17 Tahun 2025
Salah satu momen paling bersejarah adalah pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lewat Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2005. Kebijakan tersebut menjadi tulang punggung suksesnya perjanjian damai Helsinki antara RI dan GAM.
Amnesti dan abolisi untuk Aceh merupakan strategi resolusi konflik dengan sasarannya adalah rekonsiliasi nasional. Berbeda halnya dengan amnesti dan abolisi yang diberikan kepada Hasto dan Tom Lembong, yang justru terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara. Kebijakan tersebut kini secara tidak langsung telah menciptakan preseden baru, bahwa ‘korupsi bisa dimaafkan’.
Secara yuridis, amnesti dan abolisi memang merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, menurut Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954, pemberian amnesti dan abolisi hanya dapat dilakukan setelah Presiden menerima nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Hukum dan HAM.
Dalam praktiknya, amnesti dan abolisi dibedakan berdasarkan tahap perkara. Amnesti menghentikan proses hukum secara menyeluruh dan menghapus status pidana, sedangkan abolisi dilakukan untuk perkara yang sedang berjalan. Keduanya seharusnya digunakan dengan pertimbangan tinggi demi kepentingan negara, bukan demi kompromi terhadap elite politik.
Jika sebelumnya amnesti digunakan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional seperti dalam konflik Aceh, kini kebijakan serupa malah digunakan untuk menyelesaikan kejahatan korupsi. Transformasi fungsi ini menandai pergeseran arah kebijakan hukum yang dinilai membahayakan supremasi hukum itu sendiri. Bahkan kebijakan tersebut bisa menjadi bentuk moral hazard, dengan pesan yang sampai ke publik adalah “mencuri boleh, asal uangnya dikembalikan”.
Para akademisi dan aktivis antikorupsi harus hadir mendesak DPR RI dan lembaga yudikatif untuk mengevaluasi total mekanisme pemberian amnesti dan abolisi. Tanpa batasan yang jelas, langkah ini berpotensi membuka pintu impunitas bagi para pelaku kejahatan negara dan membiarkan hukum tunduk pada kompromi politik.
Penulis: Muhammad Khalid