PUNCA.CO – Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Banda Aceh, Yudi Noviandi, mengingatkan ancaman serius resistensi antimikroba (AMR) di Aceh akibat maraknya peredaran antibiotik tanpa resep dokter.
Data BPOM RI tahun 2024 mencatat, 83,7 persen antibiotik di Aceh diperoleh tanpa resep dokter, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 70,59 persen.
Angka ini menempatkan Aceh sebagai daerah dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.
“Ini kondisi yang sangat memprihatinkan. Jika tidak dikendalikan, resistensi antimikroba bisa memicu silent pandemic pada 2050. Aceh berisiko menjadi episentrum masalah kesehatan global,” tegas Yudi, Rabu (20/8/2025).
Baca juga: Pendapatan Anggota DPR-RI Tembus Rp104 Juta Perbulan, Jauh dari Realitas Rakyat
Yudi menegaskan, pengendalian AMR bukan hanya tanggung jawab tenaga medis, melainkan membutuhkan dukungan pemerintah daerah serta kesadaran masyarakat.
Ia mendesak segera diterbitkannya Surat Edaran (SE) Gubernur agar seluruh apotek, klinik, dan rumah sakit lebih disiplin dalam penyaluran antibiotik.
“Kami berharap tidak ada lagi penjualan antibiotik sembarangan. Edukasi masyarakat harus diperkuat, karena kesehatan publik jauh lebih penting dibanding keuntungan jangka pendek,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, berkomitmen segera mengeluarkan SE untuk memperketat aturan. “Apotek dan sarana kesehatan hanya boleh menyerahkan antibiotik kepada pasien dengan resep dokter. Ini langkah penting melindungi masyarakat,” kata Muzakir.
Ia menegaskan regulasi tersebut akan diikuti dengan pengawasan ketat bersama BPOM dan Dinas Kesehatan. Targetnya, penyaluran antibiotik tanpa resep di Aceh bisa ditekan hingga 50 persen.
“Kalau tidak dikendalikan, generasi kita yang akan menanggung akibatnya. Aceh harus jadi contoh bagaimana daerah mampu mengatasi ancaman resistensi antimikroba,” pungkasnya.