PUNCA.CO – Langkah Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyerahkan draf usulan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) beserta naskah akademiknya ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendapat sorotan positif dari kalangan akademisi.
Draf tersebut kini resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan salah satu poin krusial memastikan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Aceh tetap dialokasikan sebesar 2,5 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional tanpa batas waktu.
Akademisi dan Dosen Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Teuku Muzaffarsyah, menilai keberlanjutan dana Otsus merupakan “nafas pembangunan Aceh” yang tidak bisa ditawar.
“Kalau ini dipotong atau dibatasi, tentu akan berdampak besar bagi kesejahteraan rakyat. Karena itu, keberlanjutan dana ini harus dijamin di dalam revisi,” ujarnya, Jumat (19/9/2025).
Baca juga: Kepala dan Sekretaris Inspektorat Terseret Kasus Korupsi SPPD
Menurutnya, perjuangan tersebut tidak terlepas dari peran Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh yang konsisten mengawal aspirasi rakyat dalam rapat-rapat bersama Baleg DPR RI. Forbes, kata dia, menjadi jembatan strategis antara kepentingan Aceh dengan pusat.
Namun, Muzaffarsyah mengingatkan revisi UUPA tidak boleh berhenti hanya sebagai formalitas. Ia menekankan bahwa UUPA adalah turunan langsung dari Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) yang menjadi fondasi perdamaian Aceh sejak 2005.
“Revisi UUPA harus sesuai dengan MoU Helsinki, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah pusat harus serius. Ini bukan sekadar regulasi, tapi taruhan masa depan Aceh,” tegasnya.
Baca juga: 105,7 Triliun Dana Otsus Aceh Dikelola Konsumtif, Kompensasi Damai Sia-sia
Ia juga mendukung pernyataan anggota DPR RI asal Aceh, TA Khalid, yang sebelumnya menegaskan bahwa revisi UUPA harus diarahkan untuk memperkuat perdamaian, bukan sebaliknya.
Menurut Muzaffarsyah, keberhasilan revisi UUPA akan sangat ditentukan oleh soliditas elemen-elemen lokal. Pemerintah Aceh, DPRA, akademisi, politisi, hingga ulama, menurutnya, harus bersatu menyuarakan aspirasi rakyat agar substansi MoU benar-benar terjaga.
“Ini isu penting yang menyangkut masa depan Aceh. Jangan sampai kita lengah. Semua pihak harus terlibat,” katanya.
Ia pun menekankan beberapa poin krusial yang wajib dipertahankan dalam revisi UUPA: penguatan syariat Islam sebagai identitas Aceh, keberlanjutan dana Otsus sebagai instrumen pembangunan, serta jaminan pengelolaan pendidikan dan kesehatan yang sudah diatur dalam MoU Helsinki.
“Banyak hal yang harus diperhatikan. Pertama syariat Islam, kedua dana Otsus, ketiga bidang pendidikan dan kesehatan. Semua itu sudah dicantumkan dalam MoU dan tidak boleh dihilangkan,” pungkasnya.