PUNCA.CO – Seluruh stakeholder atau masyarakat di wilayah Aceh, terutama dari kawasan barat dan selatan Aceh, dihimbau agar berhenti mengirimkan produksi karet mentah ke luar daerah. Kebijakan ini diambil menyusul kehadiran pabrik pengolahan karet milik PT Potensi Bumi Sakti (PBS) di Aceh Barat yang siap mengelola bahan baku karet untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.
“Kita harus mengolahnya di sini, agar manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat Aceh,” ujar Cut Huzaimah, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, Rabu (6/8/2025).
Himbauan atau kebijakan tersebut bertujuan mendukung hilirisasi industri karet, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah ekonomi di sekitar sentra produksi karet.
Baca juga: Mualem Buka Acara Wirausaha Unggulan Bank Indonesia (WUBI) 2025
“Kita sudah punya pabrik karet di Aceh Barat, kenapa bahan bakunya harus dijual ke luar? Ini kesempatan kita untuk membangun ekonomi lokal.” tambahnya.
Pabrik karet yang dimaksud, baru saja diresmikan pada 8 Juli 2025, di Gampong Glee Siblah, Kecamatan Woyla, Aceh Barat. Pabrik tersebut dibangun di atas lahan seluas 25 hektar dan mampu mengolah hingga 2.500 ton karet kering per bulan. Setelah hampir 12 tahun pembangunan, pabrik tersebut kini diharapkan menjadi tonggak penting dalam pembangunan industri berbasis komoditas lokal di Aceh.
Tak hanya itu, hadirnya pabrik tersebut diharapkan juga dapat menciptakan ribuan lapangan kerja dan mempercepat proses hilirisasi di sektor-sektor lain. Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengajak masyarakat untuk mendukung keberlanjutan pabrik ini.
“Keamanan dan stabilitas harus dijaga agar iklim investasi di Aceh tetap kondusif. Jika bahan baku terus dibiarkan keluar, maka Aceh hanya akan menjadi penyedia bahan mentah tanpa menikmati nilai tambah industrinya.” ujar Cut Huzaimah.
Kebijakan tersebut dianggap sejalan dengan visi nasional yang mengutamakan hilirisasi industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Praktik ekspor bahan mentah yang selama ini terjadi dinilai merugikan daerah penghasil dan membuat Aceh kehilangan potensi pendapatan yang besar.
Direktur Utama Arsari Group, Hashim Djojohadikusumo, juga menegaskan bahwa pembangunan pabrik tersebut adalah bentuk nyata dari hilirisasi industri. Mesin yang digunakan di pabrik tersebut mampu mengolah hingga 10 ton karet basah per jam, dengan target produksi harian mencapai 100 ton karet kering. Jika pasokan bahan baku mencukupi, kapasitas produksi pun akan ditingkatkan.
“Kami ingin bahan baku yang ada di Aceh diolah di Aceh. Karet yang dulunya hanya dijual mentah, sekarang bisa diolah menjadi produk dengan nilai tambah tinggi, yang hasilnya kembali ke masyarakat,” ujar Hashim.
Distanbun Aceh juga tengah menyusun strategi untuk mengintegrasikan rantai pasok industri karet di Aceh agar lebih efisien dan kompetitif. Jika produksi karet mentah terus dijual keluar, investasi besar seperti pabrik karet PT PBS akan kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku, dan tujuan awal membuka lapangan kerja serta memperkuat ekonomi lokal akan sulit tercapai.
“Kita harus pastikan agar kebijakan ini berjalan, dan seluruh ekosistem industri karet di Aceh bisa tumbuh optimal untuk kesejahteraan rakyat,” tutup Cut Huzaimah.










