Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, cita-cita luhur ini seringkali hancur di tingkat pelaksanaan, terutama ketika pendidikan justru dijadikan lahan transaksi dan kepentingan oleh segelintir orang.
Di Aceh, persoalan ini menjadi semakin nyata. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul keluhan dari para guru yang seharusnya berhak mendapatkan kesempatan memimpin sekolah karena telah memenuhi kualifikasi, berprestasi, dan menjalani proses seleksi sesuai mekanisme yang berlaku. Namun, harapan mereka kandas hanya karena tidak memiliki “akses” kepada pejabat tertentu, atau karena tidak mampu menyediakan sejumlah uang yang diyakini menjadi syarat tidak tertulis untuk meraih jabatan kepala sekolah maupun madrasah.
Baca juga: Agam Nur Muhajir Kembali Pimpin DPP Muda Seudang, Janji Perkuat Kaderisasi
Fenomena lain yang semakin mencederai rasa keadilan adalah praktik nepotisme. Masyarakat pendidikan di Aceh sudah sangat akrab mendengar kabar bahwa istri pejabat di Dinas Pendidikan maupun di Kementerian Agama dengan mudah diangkat sebagai kepala sekolah atau madrasah.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah pengangkatan tersebut benar-benar didasarkan pada kompetensi, prestasi, dan kelayakan, atau sekadar karena statusnya sebagai istri pejabat?
Aturan Jelas, Praktik Kotor Masih Berjalan
Sebenarnya, aturan hukum sudah sangat jelas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah menetapkan bahwa seorang guru hanya dapat diangkat menjadi kepala sekolah apabila memenuhi kualifikasi akademik, memiliki sertifikat pendidik, serta lulus pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah. Begitu pula dalam regulasi Kementerian Agama yang mengatur penunjukan kepala madrasah, prinsip meritokrasi, profesionalisme, dan kompetensi ditegaskan secara gamblang.
Baca juga: HIV/AIDS di Banda Aceh Ancam Generasi Produktif: Karyawan dan Mahasiswa Jadi Penderita Terbanyak
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pentingnya pendidikan yang berkualitas, demokratis, dan berkeadilan. Dan jika penentuan jabatan dilakukan dengan praktik suap, gratifikasi, maupun nepotisme, jelas hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, praktik jual beli jabatan kepala sekolah maupun nepotisme bukan hanya masalah moral, melainkan sudah masuk dalam kategori pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas.
Guru Jadi Korban, Pendidikan Jadi Taruhan
Sayangnya, realitas di lapangan berkata lain. Banyak guru yang semestinya berhak naik menjadi kepala sekolah justru tersingkir. Mereka menjadi korban dari permainan sistem yang korup. Guru-guru ini telah mengabdi puluhan tahun, mengumpulkan segudang prestasi, bahkan rela ditempatkan di daerah terpencil demi mencerdaskan anak bangsa. Tetapi saat kesempatan untuk naik jabatan tiba, mereka terhalang oleh “tembok besar” bernama uang dan relasi.
Situasi ini menimbulkan luka mendalam. Jika kepala sekolah dipilih bukan karena kualitas, tetapi karena siapa istrinya atau siapa yang membayar lebih banyak, maka dunia pendidikan Aceh sedang diarahkan ke jurang kehancuran. Guru-guru yang seharusnya menjadi teladan justru kehilangan motivasi, karena mereka tahu prestasi dan integritas tidak lagi dihargai.
Baca juga: Dua Lansia Tewas dalam Kebakaran Rumah di Lhokseumawe, Seorang Mengalami Luka Bakar
Yang lebih mengkhawatirkan, dampak paling serius akan dirasakan oleh generasi muda Aceh. Sekolah yang dipimpin oleh kepala yang tidak kompeten akan sulit berkembang. Kebijakan pendidikan di tingkat sekolah menjadi lemah, mutu pembelajaran merosot, dan pada akhirnya, muridlah yang menanggung kerugian terbesar.
Tanggung Jawab Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Dalam kondisi ini, pemerintah tidak boleh tinggal diam. Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama harus segera mengevaluasi proses pengangkatan kepala sekolah dan madrasah di Aceh. Transparansi harus dijunjung tinggi. Setiap guru yang diangkat menjadi kepala sekolah harus dapat dipertanggungjawabkan rekam jejaknya secara terbuka. apakah dia benar-benar lolos tahapan sesuai aturan, atau sekadar mendapat jalan pintas karena status sosial dan kedekatan dengan pejabat tertentu.
Aparat penegak hukum juga wajib turun tangan. Praktik jual beli jabatan adalah tindak pidana korupsi. Aparat kepolisian, kejaksaan, dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menjadikan dunia pendidikan sebagai prioritas pengawasan. Jangan sampai dunia pendidikan yang seharusnya suci justru menjadi sarang praktik kotor yang dilindungi oleh kekuasaan.
Baca juga: Tgk. H. Aiyyub Abbas Buka Munas Muda Seudang di Anjong Mon Mata
Jika kepala sekolah yang diangkat adalah istri pejabat atau kerabat dekat pegawai di instansi pendidikan, maka hal itu harus diusut tuntas. Harus diuji apakah pengangkatan itu berdasarkan prestasi ataukah murni praktik nepotisme. Jika ditemukan indikasi permainan, maka jabatan tersebut wajib dicabut dan para pelakunya harus dihukum sesuai undang-undang.
Menyelamatkan Pendidikan Aceh dari KKN
Kita harus berani mengatakan dengan lantang bahwa KKN di dunia pendidikan Aceh tidak boleh lagi dibiarkan. Ini bukan sekadar soal jabatan, tetapi soal keadilan dan masa depan. Jika guru-guru terbaik terus disingkirkan, maka yang rugi bukan hanya mereka, melainkan seluruh masyarakat Aceh.
Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) menyerukan agar pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat bersama-sama mengawal persoalan ini. Jangan ada lagi ruang bagi praktik kotor yang menjadikan jabatan kepala sekolah sebagai komoditas. Jangan ada lagi generasi muda yang dikorbankan karena pejabat lebih mengutamakan keluarganya daripada mutu pendidikan.
Baca juga: BPOM Temukan Kerupuk Tempe dan Mie Diduga Mengandung Bahan Berbahaya di Warung Kopi Banda Aceh
Kita ingin pendidikan di Aceh dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar layak, berprestasi, berintegritas, dan memiliki komitmen membangun. Bukan mereka yang naik karena uang atau kedekatan keluarga. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka sejarah akan mencatat bahwa kita telah mengkhianati masa depan anak-anak Aceh.
Saatnya kita memilih jalan yang benar, membersihkan dunia pendidikan dari KKN. Karena hanya dengan pendidikan yang bersih dan adil, Aceh bisa bangkit, bermartabat, dan sejajar dengan daerah lain di Indonesia.
Penulis: Fauzan Adami, Ketua Umum Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA)