PUNCA.CO – Baru-baru ini, lima Keuchik (Kepala Desa) dari Aceh mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), karena merasa dirugikan oleh ketentuan masa jabatan enam tahun dan hanya bisa dipilh kembali satu masa jabatan berikutnya. Para Keuchik tersebut membandingkan nasib mereka dengan kepala desa di luar Aceh yang masa jabatannya diperpanjang menjadi delapan tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024.
Dr. Zainal Abidin, S.H., M.Si., M.H, melihat ini sebagai fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan. ” Hanya karena perbedaan masa jabatan, sejumlah Keuchik tampak siap ‘keluar’ dari jalur kekhususan Aceh. Padahal, Otonomi Khusus Aceh lahir dan ditegaskan melalui UU Kekhususan Aceh (UUPA). Ketika ada perubahan regulasi di tingkat nasional yang tampak lebih ‘menguntungkan’ mereka malah tergoda untuk meninggalkan kekhususan Aceh,” ujarnya kepada punca.co, Jum’at malam (2/5/2025).
Pada sidang pemeriksaan awal yang berlangsung, Senin (28/5/2025), MK menilai permohonan yang diajukan para Keuchik tersebut, uraian landasan pengujiannya masih kurang rinci dan memberi waktu untuk memperbaikinya sampai 14 Mei mendatang. Seolah memberi sinyal agar berfikir kembali dan menyindir, kenapa ketika masa jabatan di luar Aceh lebih panjang, Aceh tiba-tiba ingin ikut aturan nasional? Sindiran tersebut bukan hanya kritikan halus, tapi juga mengandung refleksi mendalam.
“Gampong sebutan khas untuk desa dalam UUPA yang merupakan simbol dari otonomi khusus. Maka, menggugat pasal 115 ayat 3 dalam UUPA sama saja dengan menggugat eksistensi kekhususan itu sendiri.” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala tersebut.
Masalah ini menurutnya bukan semata persoalan hukum, tapi soal komitmen terhadap jati diri daerah. Kekhususan Aceh bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan politik dan sejarah yang panjang. Maka menjadi tidak elok jika sikap terhadap kekhususan itu ‘zig-zag’, mengikuti selera dan kepentingan sesaat.
Disamping itu, pemegang otoritas Aceh seharusnya tidak latah dalam menyikapi persoalan ini. Saat Undang-Undang Desa berubah, Pj. Gubernur Aceh, Ir. Safrizal melalui surat nomor 400.14.1.3/11532 tanggal 23 September 2024, malah menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU nomor 3 Tahun 2024 tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun. Lucunya, padahal UUPA Pasal 115 ayat 3 masih berlaku dan belum dicabut. Sikap tersebut merupakan cerminan pdmerintah Aceh telah melemahkan UUPA itu sendiri.
Lebih ironis lagi, Pemerintah Aceh kemudian baru-baru ini mengeluarkan surat nomor 400.10/4007 tentang penundaan pemilihan Keuchik, hanya karena menunggu putusan MK atas uji materi yang belum tentu diterima. Keputusan tersebut kembali menunjukkan sikap yang tidak respek terhadap norma hukum yang masih sah dan berlaku.
” Pemerintah Aceh latah, seharusnya tetap mengacu terhadap UUPA yang sudah jelas mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan sebaliknya. Kita tidak bisa menggantung pemerintahan di desa (gampong) hanya karena ada gugatan yang bahkan belum diperiksa secara substansial, ” tegas Dr. Zainal.
Baginya sikap seperti ini bukan hanya melemahkan kekhususan Aceh, tapi juga menunjukkan rapuhnya mentalitas otonomi khusus di tubuh birokrasi pemerintah Aceh. Betapa mudahnya berpaling dari aturan sendiri hanya karena aturan pusat tampak lebih menarik. Bila pemerintah sendiri tidak menghargai kekhususan Aceh, tidak heran jika ke depan seiring wajtu Aceh kehilangan alasan untuk terus mendapat perlakuan khusus dari negara.
Dr. Zainal mengajak semua pihak khususnya para pengambil kebijakan di Aceh agar tidak membiarkan kekhususan yang telah diperjuangkan dengan susah payah menjadi lemah hanya karena soal masa jabatan. ” Kita harus kembali pada semangat awal otonomi khusus. Pemerintah Aceh harus konsistensi, jangan mengikuti arus nasional lalu membelakangi kekhususan Aceh, ” tutupnya.