PUNCA.CO – Kian menarik, persoalan sejumlah keuchik yang berharap penambahan masa jabatan menjadi 8 tahun berlanjut ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Lima orang Keuchik tersebut meminta MK untuk menguji kembali UUPA pasal 115 ayat 3 tentang masa jabatan Keuchik (kepala desa) di Aceh. Menanggapi perihal tersebut, Ketua Projo Aceh menilai langkah tersebut termasuk upaya mengkhianati undang-undang Kekhususan Aceh.
“Ini memalukan, pusat akan menilai Aceh inkonsistensi terhadap UUPA. Secara tidak langsung oknum-oknum Keuchik ini sudah mengkhianati Kekhususan Aceh. Dimana letak kerugian masyarakat luas terhadap enam atau delapan tahun jabatan Keuchik? Tidak ada kan?Jadi kenapa mereka mesti ngotot? Kan lucu,” tegas Taufik Muhammad, Minggu pagi (4/5/2025).
Baca juga: Pemerintah Aceh Tidak Bermental Otsus, Akdemisi Unsyiah Kritisi Intruksi Penundaan Pemilihan Keuchik
Taufik mengungkapkan bahwa sudah membaca isi permohonan yang diajukan oleh kuasa hukum lima Keuchik tersebut. Dia menilai tidak ada satu pun dari tuntutan tersebut yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, yang ada menurutnya hanya mengarah pada kepentingan pribadi.
“Jadi, urgensinya tidak ada. Dalam permohonan mereka jelas tidak menyebutkan kerugian masyarakat luas,” lanjutnya.
Lebih menarik lagi, sidang perdana perkara tersebut digelar di Mahkamah Konstitusi pada Senin (28/4/2026). Namun, alih-alih proses berjalan lancar, justru Hakim MK malah menasehati kuasa hukum pemohon karena tidak menerangkan uraian yang rinci terhadap pertentangan dari antara Pasal 115 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2006 dengan UUD 1945.
“Anda harus uraikan pertentangannya dimana. Misalnya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), harus dijelaskan bagaimana pertentangannya. Demikian juga dengan Pasal 1 ayat (3) tentang prinsip negara hukum. Tidak cukup hanya menyampaikan uraian umum lalu menyimpulkan bahwa Pasal 115 ayat (3) bertentangan dengan beberapa pasal UUD 1945,” jelas Arsul Sani, Hakim MK yang menasehati kuasa hukum para Keuchik tersebut, Senin (28/4/2025).
Terakhir, hakim MK memberikan kesempatan kepada kuasa hukum pemohon untuk memperbaikinya hingga 14 Mei 2025 mendatang. Menanggapi kemungkinan MK mengabulkan permohonan tersebut, Taufik mengingatkan bahwa hal itu dapat berdampak buruk terhadap posisi kekhususan Aceh di mata pemerintah pusat. Menurutnya mereka telah dibutakan oleh jabatan hingga keluar dari Kekhususan Aceh.
“Karena UU Pusat lebih menguntungkan kita tidak seharusnya berpaling dari Kekhususan Aceh. Ini sama halnya mengkhianati perjuangan terdahulu,” tutup Taufik.