PUNCA.CO – Muhammad Chalis, alumni Universitas Malikussaleh, melontarkan kritikan terhadap pernyataan Rektor Universitas Malikussaleh Prof. Herman Fithra dan Dekan Fakultas Pertanian Dr. Baidhawi terkait keterlibatan TNI dalam program ketahanan pangan dan pembangunan batalyon di wilayah Aceh.
Menurut Chalis, pernyataan kedua tokoh akademisi tersebut tidak mencerminkan pemahaman yang tepat mengenai prinsip ‘Aceh interest’ yang menjadi bagian penting dalam kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Selaku mahasiswa dan mereka berdua guru saya di Universitas Malikussaleh, saya agak kurang paham apa yang mereka sampaikan. Semestinya bukan TNI AD yang dikuatkan, tetapi TNI AL di Selat Malaka untuk kepentingan penjagaan agar ikan-ikan kita tidak dicuri. Ini kok malah dibangun di Batalyon yang di empat wilayah strategis sumber daya alam Aceh,” kata Chalis, Sabtu malam (3/5/2025).
Ia menyayangkan rencana pembangunan batalyon di wilayah yang kaya sumber daya alam, yang menurutnya tidak sesuai dengan amanah relokasi TNI dalam perjanjian damai Aceh.
“Di mana letak rasionalitasnya? Kami keberatan sekali karena jelas amanah relokasi adalah kesepakatan resmi antara Pemerintah Indonesia dengan GAM,” ujarnya.
Chalis juga mempertanyakan pandangan Prof. Herman yang mendukung keterlibatan TNI dalam pertanian demi ketahanan pangan nasional.
“Maha guru saya Prof. Herman harus paham bahwa program ketahanan pangan menuju kemandirian pangan Indonesia bukan hanya TNI saja yang mampu. Di negara-negara modern, yang lebih difokuskan adalah Kementerian Pertanian bekerja sama dengan rakyat atau anak muda setempat sebagai leading sektor,” jelasnya.
Ia mencontohkan model pembangunan pertanian di Australia, yang melibatkan penuh kementerian dan rakyat dalam menciptakan ketahanan pangan yang kuat dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, ia mengkritik logika pembangunan batalyon sebagai bentuk penguatan nasionalisme di Aceh.
“Pemahaman kebangsaan beliau keliru walaupun beliau alumni Lemhanas. Perlu direkonstruksi kembali cara pikir Prof. Herman. Pemuda Aceh adalah bagian pendukung tegaknya NKRI sejak dulu, dan rakyat Aceh sudah menjadi salah satu penyumbang saham terbesar bagi bangsa Indonesia,” tegasnya.
Menurut Chalis, sektor ketahanan pangan secara struktural berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pangan, bukan TNI.
“Ketahanan pangan itu wilayahnya Kementerian Koordinator bidang Pangan Republik Indonesia. Sejak kapan TNI masuk Kemenko Pangan?” kata dia.
Ia juga menyebut pernyataan bahwa keberadaan batalyon bisa mendongkrak ekonomi karena prajurit akan berbelanja dan berinteraksi itu tidak substantif.
“Passion beliau sebagai teknik sipil keliru total. Semestinya beliau mendorong dan mendukung penambahan proyek strategis di Lhokseumawe dan Aceh Utara supaya Universitas Malikussaleh memiliki mitra strategis untuk maju sebagai ‘world class university’,” ungkap Chalis.
Tak hanya Prof. Herman, Chalis juga menyoroti pernyataan Dr. Baidhawi sebagai Dekan Fakultas Pertanian yang dinilainya tidak memahami struktur koordinasi pangan di Indonesia.
“Saya tidak paham sekali alur pikirnya. Pasca reformasi, kita ramai-ramai berupaya mengembalikan TNI pada fungsi yang semestinya seperti diamanahkan oleh Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, bahwa TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan bangsa. TNI hanya fokus pada bidang pertahanan, bukan pertanian,” tegasnya.
“Saya kira beliau tidak paham, yang menyerap gabah itu bukan TNI, tetapi Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Perum Bulog. Saya sebagai alumni melihat ini sedih sekali. Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh seharusnya berinovasi dan melakukan riset-riset yang produktif untuk rakyat Aceh di bidang pertanian,” pungkas Chalis.
Ia berharap ke depan Universitas Malikussaleh dapat kembali ke khitah akademiknya sebagai pusat kajian dan inovasi demi kemajuan masyarakat Aceh.