” Perjalanan Mualem adalah bukti bahwa sejarah selalu bergerak, dan hanya mereka yang bisa beradaptasi yang akan tetap relevan dalam perjalanan bangsa. Kini, tugasnya adalah memastikan bahwa Aceh benar-benar mendapatkan kesejahteraan yang selama ini diperjuangkan bukan lagi dengan peluru, tetapi dengan kebijakan.”
Oleh: Madi Saputra
Sejarah adalah kumpulan kisah yang penuh warna. Ada cerita perjuangan, ada kisah pengkhianatan, dan ada pula perjalanan panjang yang menuntut keberanian untuk berubah. Muzakir Manaf, atau yang lebih dikenal dengan Mualem, adalah salah satu tokoh yang telah melewati fase-fase tersebut. Dari seorang kombatan yang ditempa di gurun Libya, menjadi pemimpin perlawanan di hutan-hutan Aceh, hingga kini berdiri di tengah panggung politik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak banyak orang yang bisa mengalami perjalanan sedramatis ini. ‘Dari Tripoli ke Magelang, dari medan perang ke meja perundingan, dari menjadi musuh negara hingga kini menjadi pemimpin dalam NKRI’. Mualem adalah saksi hidup bagaimana konflik, ideologi, dan kepentingan global bisa membentuk perjalanan hidup seseorang.
Pelatihan di Libya: Dukungan Khadafy dan Solidaritas Perlawanan
Saat Muzakir Manaf dan para pemuda Aceh lainnya berangkat ke Kamp Tajuura/Tanzura, Libya, mereka bukan hanya berangkat sebagai sekumpulan anak muda yang ingin belajar militer. Mereka membawa sebuah mimpi besar, mimpi yang digagas oleh Hasan Tiro, pemimpin GAM yang saat itu berada dalam pengasingan.
Libya, di bawah kepemimpinan Muammar Khadafy, bukan sekadar tempat pelatihan militer. Libya saat itu adalah salah satu pusat gerakan anti-imperialisme dunia, yang memberikan pelatihan militer dan bantuan kepada berbagai kelompok perlawanan. Selain GAM, kamp pelatihan ini juga diisi oleh pejuang dari berbagai organisasi lain seperti; Al-Fatah (Palestina), Irish Republican Army (IRA) dari Irlandia, Moro Islamic Liberation Front (MILF) dari Filipina, Kelompok separatis dari berbagai negara Afrika.
Selama periode 1986-1990, Libya menjadi sponsor utama bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain melatih kombatan di kamp militer, Khadafy juga memberikan dukungan logistik dan persenjataan kepada GAM. Ini adalah salah satu alasan mengapa saat Muammar Khadafy tewas pada 2011 dalam revolusi Libya, banyak mantan kombatan GAM, terutama mereka yang pernah berada di Tripoli, merasa duka yang mendalam.
“Kami berutang budi pada Khadafy. Tanpa bantuannya, perjuangan kami mungkin tidak akan bisa sebesar ini,” kata salah seorang mantan kombatan yang pernah berlatih di Libya.
Namun, pelatihan militer hanyalah satu bagian dari strategi perjuangan GAM. Selain dukungan Libya, pendanaan utama GAM berasal dari keuntungan bisnis global Hasan Tiro.
Hasan Tiro: Dari Pengasingan ke Mesin Keuangan GAM
Sebagai pemimpin GAM, Hasan Tiro tidak hanya seorang ideolog dan diplomat, tetapi juga seorang pengusaha sukses. Ia membangun jaringan bisnis global yang tersebar di Amerika Serikat, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Bisnisnya mencakup berbagai sektor strategis, antara lain; Petrokimia, perkapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur.
Keuntungan dari bisnis ini kemudian disalurkan untuk mendukung operasi militer dan diplomasi GAM. Hasan Tiro tidak hanya berperan sebagai pemimpin simbolis, tetapi juga ‘funding father’ bagi perjuangan Aceh. Inilah mengapa GAM dapat bertahan selama lebih dari 30 tahun dalam perlawanan bersenjata, meskipun menghadapi kekuatan penuh dari TNI dan Polri.
Dengan dukungan keuangan yang kuat dan jaringan internasional yang luas, GAM berhasil membangun struktur militer yang rapi dan strategi perlawanan yang canggih. Dan di tengah semua itu, Muzakir Manaf berdiri sebagai salah satu pemimpin perang yang paling berpengaruh.
Dari Perang ke Perundingan: Mualem di Persimpangan Sejarah
Saat Perjanjian Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, itu bukan hanya akhir dari perang, tetapi juga awal dari perubahan besar bagi GAM dan Aceh.
Mualem, yang sebelumnya berada di garis depan pertempuran, kini harus memainkan peran baru: menjadi bagian dari sistem yang dulu ia perangi.
Ini bukan keputusan yang mudah. Bagi banyak kombatan, bergabung dengan NKRI berarti mengkhianati perjuangan lama. Namun, Mualem dan para pemimpin GAM lainnya menyadari bahwa perang tidak bisa berlangsung selamanya. Aceh telah hancur akibat konflik berkepanjangan, rakyat menderita, dan pembangunan tertinggal jauh dibandingkan daerah lain.
Akhirnya, mereka memilih untuk berdamai dan berintegrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ini adalah keputusan strategis yang diambil demi masa depan Aceh.
Sebagai bagian dari kesepakatan damai, GAM mendapatkan otonomi khusus untuk Aceh, serta hak untuk membentuk partai politik sendiri. Inilah yang kemudian melahirkan Partai Aceh, yang dipimpin oleh mantan kombatan seperti Muzakir Manaf dan Fadhlullah, wakil gubernur Aceh saat ini.
Dari Hutan Aceh ke Gunung Tidar Magelang
Jika ada satu momen yang benar-benar melambangkan perjalanan luar biasa Mualem, itu adalah keberadaannya di Akademi Militer Magelang.
Dulu, ia memimpin perang gerilya melawan TNI.
Kini, ia berada di pusat pendidikan militer Indonesia.
Ini adalah sebuah ironi sejarah yang menunjukkan bagaimana dinamika politik dan konflik bisa berubah dengan cepat. Tidak ada yang bisa membayangkan bahwa mantan panglima perang GAM akan berdiri di tempat yang sama dengan para perwira muda TNI yang dulu menjadi musuhnya.
Namun, inilah kenyataan politik. Mualem kini adalah bagian dari sistem. Ia telah berdamai dengan Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para tokoh militer yang dulu berada di pihak yang berseberangan dengannya.
Membangun Aceh: Tantangan di Era Perdamaian
Kini, tantangan terbesar Mualem bukan lagi di medan perang, tetapi dalam membangun Aceh di era perdamaian. Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh adalah peluang besar, tetapi juga sebuah tanggung jawab berat.
Ada banyak masalah yang masih harus diselesaikan; Ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, investasi yang masih minim akibat stigma masa lalu, pendidikan dan lapangan kerja yang harus diperbaiki, persoalan internal di Partai Aceh yang kerap menjadi perdebatan politik lokal.
Sebagai pemimpin, Mualem harus memastikan bahwa perjuangan yang dulu dilakukan dengan senjata kini harus dilanjutkan dengan kebijakan dan pembangunan.
Seperti kata pepatah, “Seorang pejuang sejati bukan hanya yang bisa berperang, tetapi juga yang bisa membangun setelah perang usai.”
Dari Perlawanan ke Perubahan
Kisah Muzakir Manaf adalah salah satu narasi paling menarik dalam sejarah Indonesia modern. Dari seorang pemuda yang berlatih di gurun Libya, menjadi panglima perang GAM, hingga kini menjadi pemimpin dalam sistem pemerintahan NKRI, adalah perjalanan yang tidak banyak orang bisa alami.
Mualem telah membuktikan bahwa perjuangan sejati tidak selalu berakhir dengan senjata, tetapi juga bisa diwujudkan dalam bentuk perdamaian dan pembangunan.
Dari Tripoli ke Magelang, dari hutan Aceh ke meja pemerintahan, perjalanan Mualem adalah bukti bahwa sejarah selalu bergerak, dan hanya mereka yang bisa beradaptasi yang akan tetap relevan dalam perjalanan bangsa.
Kini, tugasnya adalah memastikan bahwa Aceh benar-benar mendapatkan kesejahteraan yang selama ini diperjuangkan bukan lagi dengan peluru, tetapi dengan kebijakan dan kepemimpinan yang bijak.










