PUNCA.CO – Tim Kuasa Hukum MN, remaja terlapor kasus dugaan kekerasan seksual yang menyeret dua remaja di Banda Aceh tersebut angkat bicara. Mereka membantah keras tuduhan itu dan sebut terdapat banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.
“Jangan buru-buru menghakimi. Klien kami masih anak di bawah umur. Proses hukum masih jalan, belum ada pembuktian apa pun,” kata Kuasa Hukum MN, Yulfan, SH, MH, kepada PUNCA.CO, Selasa (6/5/2025).
Dia menyebut pemberitaan yang beredar selama ini hanya mengangkat sudut pandang pelapor. Bahkan, menurutnya, banyak istilah yang digunakan media justru memperburuk trauma dan mempermalukan kedua pihak yang sama-sama masih anak-anak.
Lanjutnya, tuduhan soal penyekapan dan kekerasan seksual tidak punya dasar kuat. Yulfan mengklaim bahwa pihaknya punya bukti digital, termasuk percakapan dan ajakan bertemu yang justru berasal dari pelapor.
“Pertemuan itu terjadi atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan. Justru pelapor yang tentukan waktu dan tempat,” ungkap Yulfan.
Berdasarkan fakta yang diperoleh kuasa MN, unsur pemerkosaan yang sesuai dalam Qanun Aceh tidak terpenuhi. Tidak ada ancaman, kekerasan, atau kondisi tak berdaya.
Hal yang paling mencurigakan menurut Yulfan, adalah soal visum korban. Dalam berita yang beredar, visum dilakukan pada 17 April. Tapi laporan ke polisi baru masuk pada 28 April.
“Visum seharusnya dilakukan atas permintaan penyidik. Kalau visum dulu baru laporan, itu sudah menyalahi prosedur,” ujarnya.
Yulfan menyebutkan, sebelum kasus tersebut dilaporkan ke polisi sempat ada pertemuan keluarga. Saat itu, pihak pelapor disebut meminta bantuan dana besar dengan alasan pemulihan psikologis dan pendidikan korban.
“Kami tidak menyebut itu pemerasan, tapi publik bisa menilai sendiri. Apakah pantas masalah anak diselesaikan secara transaksional?” Ujarnya.
Lebih lanjut, Kuasa Hukum MN meminta semua pihak terutama media untuk tidak menjadikan kasus ini sebagai ajang drama publik. Ia berharap proses hukum bisa berjalan profesional.
Menurutnya, kasus ini juga memperlihatkan krisis pergaulan bebas remaja, minimnya pendidikan karakter dan lemahnya kontrol sosial.
“Kalau kita sibuk saling menyalahkan, tapi lupa memperbaiki akar masalah, maka tragedi serupa akan
terus berulang,” tutupnya.