PUNCA.CO – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Aceh Kabupaten Bener Meriah menegaskan bahwa Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah pondasi utama dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahan di Aceh.
Dalam pernyataannya, DPW Partai Aceh Bener Meriah menyatakan bahwa pergantian presiden tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kesepakatan damai yang telah diteken bersama antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005.
“Kesepakatan damai telah menjadikan MoU Helsinki dan UUPA sebagai kontitusi terhadap pembangunan Aceh. Maka, setiap kebijakan nasional yang berkaitan dengan Aceh harus dikonsultasikan dan mendapat persetujuan Pemerintah Aceh serta DPR Aceh,” tegas Fadjri, SH, Pj Ketua DPW Partai Aceh Bener Meriah, Selasa (17/6/2025).
Baca juga: Kembalikan, Perdamaian Aceh Bukan Hadiah
Namun, menurut Fadjri, pemerintah pusat kerap melanggar prosedur ini. Sejumlah kebijakan strategis seperti pembangunan empat batalyon militer di Aceh dan pengalihan empat pulau di Aceh Singkil ke Sumatera Utara diputuskan tanpa konsultasi atau persetujuan dari pihak Aceh.
“Langkah-langkah ini bukan hanya melanggar aturan, tapi juga membuka kembali luka lama dan merusak kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat,” tambahnya.
Partai Aceh Bener Meriah secara tegas menolak dua kebijakan tersebut dan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil sikap tegas terhadap para menteri dan jajaran pemerintah pusat yang dinilai abai terhadap komitmen perdamaian Aceh.
“Jika perlu, presiden harus melakukan evaluasi ulang terhadap seluruh jajaran kabinetnya agar arah kebijakan nasional berpihak kepada daerah-daerah khusus dan istimewa seperti Aceh. Ini penting demi menjaga kepercayaan publik dan keutuhan NKRI,” ujarnya.
Baca juga: Partai Aceh Bener Meriah laksanakan Rapat Kerja Wilayah
Lebih lanjut, pihaknya juga mengingatkan bahwa dalam sejarah dan kesepakatan damai, wilayah Aceh bahkan mencakup hingga ke Tanjung Pura di wilayah yang kini disebut Sumatera Utara bukan sebaliknya.
“Karena itu, kami menolak dengan tegas pembangunan 4 batalyon dan pengalihan empat pulau ke Sumatera Utara. Pemerintah harus kembali pada butir-butir MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006,” pungkas Fadjri.