PUNCA.CO – ‘Pusat Mulai Lakukan Penjajahan Gaya Baru’, begitulah sebut Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (DEMA UIN) Ar-Raniry, Surya Ramadhan dalam keterangannya, Kamis malam (11/6/2025). Keputusan Mendagri Tito Karnavian terhadap status kepemilikan 4 pulau di Singkil, menurutnya akan memicu lahirnya gelombang masa di Aceh.
“Kita mengecam keras keputusan tersebut. Secara historis, geografis, dan administratif merupakan bagian dari Aceh. Kini, tanpa melalui proses yang terbuka dan partisipatif, keempatnya telah ditetapkan sebagai wilayah Sumatera Utara,” ujar Surya.
Surya menilai tindakan pemerintah pusat tersebut sebagai bentuk penjajahan administratif dan pengkhianatan secara terang-terangan terhadap otonomi khusus Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 dan perjanjian damai Helsinki.
“Kita sedang berbicara tentang kedaulatan wilayah teritorial dan marwah Aceh. Pengalihan wilayah ini adalah bentuk penjajahan gaya baru yang mengabaikan sejarah, mencederai perjanjian damai, dan melecehkan martabat rakyat Aceh,” ujanya.

Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyarankan agar pihak yang tidak setuju membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga dikritik tajam. Bagi DEMA UIN Ar-Raniry, pernyataan tersebut menunjukkan sikap arogansi pemerintah pusat dan mudah lepas tangan.
Baca juga: Sikapi Kedatangan Boby, Usman Lamreung Sebut Tidak Ada Kompromi Dalam Hal Batas Teritorial
“Ini penghinaan terhadap Aceh. Jelas wilayah teritorial kami di alihkan ke sumut. Harus segera dikembalikan,” tegas Surya.
Aceh dikenal sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang perjuangan dan kedaulatan. Aceh pernah menjadi kerajaan besar, menjadi wilayah yang merdeka dan engan tunduk pada pihak manapun. Rakyat Aceh ibarat jerami kering, cukup sedikit percikan api akan menjalar ke semua tempat. Pemerintah pusat seharusnya memahami hal demikian, sehingga perdamaian tetap terjaga di Aceh.
“Pernyataan Wakil Gubernur Aceh yang menyebut ‘tidak ada lagi kata Aceh Merdeka’ harus ditarik kembali. Perampasan ini bukan hanya memancing amarah, tetapi bisa menyulut semangat yang selama ini ditekan. Jangan salahkan rakyat jika mereka kembali menoleh ke jalan yang pernah mereka tempuh dahulu,” ujar Surya.
Sikap Pemerintah Aceh yang tidak tegas, bahkan terkesan pasif dan kompromistis, menambah luka di hati rakyat. DEMA UIN Ar-Raniry menilai Pemerintah Aceh hari ini telah kehilangan nyali dan jati diri sebagai penjaga kehormatan wilayah dan rakyatnya. Surya dengan tegas menyebut bahwa diamnya elite Aceh adalah bentuk kolaborasi secara tidak langsung yang akan melemahkan kedaulatan Aceh.
“Saat pusat menindas, dan pemerintah Aceh memilih diam, maka perdamaian yang diharapkan berubah menjadi perlawanan rakyat. Pemerintah Aceh telah gagal melindungi tanahnya,” ujar Surya.
DEMA UIN Ar-Raniry juga mengajak masyarakat Aceh untuk sadar bahwa kasus tersebut bukan persoalan administrasi wilayah semata. Persoalan tersebut adalah ujian terhadap keberadaan Aceh sebagai entitas politik yang dijanjikan perlindungan dalam bingkai otonomi khusus. Ketika kedaulatan teritorial runtuh, maka bukan hanya tanah yang hilang, tapi juga masa depan.
“Hari ini empat pulau. Besok bisa saja wilayah pesisir, hutan, gunung, bahkan laut lepas Aceh diklaim dan dikuasai oleh provinsi lain. Ini saatnya melawan secara cerdas, terorganisir, dan menyeluruh.” ujar Surya.
Surya Ramadhan menyampaikan bahwa pihaknya kini tengah berkoordinasi dengan berbagai unsur gerakan mahasiswa se-Aceh, tokoh adat, akademisi, dan jaringan masyarakat sipil untuk menyusun langkah-langkah strategis dalam rangka melawan keputusan Mendagri.
“Kita tidak akan berhenti. Kita sedang mengonsolidasikan gerakan. Bila pemerintah pusat dan daerah tetap tutup telinga, maka Aceh akan kembali bicara dengan suara yang tidak bisa dibungkam. Ini akan menjadi gelombang besar, bukan karena kami benci NKRI, tapi karena kami cinta Aceh.” jelasnya.
Aceh telah memilih jalan damai setelah konflik panjang. Tapi perdamaian bukan berarti kehilangan kekuatan, bukan berarti harus tunduk pada penindasan baru dengan wajah hukum dan administrasi.
“Jangan mengira sabar kami sebagai setuju. Kami masih bangsa yang berakar pada sejarah, masih rakyat yang menjunjung martabat. Maka, sebelum semuanya terlambat, batalkan keputusan itu. Kembalikan tanah kami. Hentikan penghinaan terhadap Aceh.” tutup Sekertaris DEMA UIN Ar-Raniry itu.