PUNCA.CO – Kepala Bidang Kajian Strategis dan Advokasi (Kastrad) Ikatan Mahasiswa Banda Aceh (Ikamba), Ammar Malik Nabil, dengan tegas mengecam keputusan sepihak Kementerian Dalam Negeri yang memasukkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini, menurutnya, diambil tanpa koordinasi dengan Pemerintah Aceh maupun masyarakat Aceh Singkil yang terdampak langsung.
“Ini adalah bentuk pengkhianatan politik dan kultural terhadap rakyat Aceh! Pemerintah pusat dan daerah tidak hanya lalai, tapi juga abai total terhadap hak rakyat atas tanah dan identitas mereka,” tegas Ammar, Jum’at (13/6/2025).
Ammar menilai sikap pemerintah yang tertutup, lamban, dan arogan dalam menangani persoalan ini mencerminkan kegagalan serius dalam tata kelola negara, serta minimnya penghormatan terhadap prinsip demokrasi.
“Minimnya penjelasan resmi dan simpang-siurnya informasi justru memperkeruh suasana, memperdalam luka sosial masyarakat Aceh. Ini bukti nyata bahwa pemerintah lebih mementingkan kekuasaan administratif ketimbang keadilan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa proses pengambilalihan ini berlangsung tanpa prosedur transparan, tanpa dialog terbuka, dan tanpa persetujuan masyarakat lokal. Hal ini dinilainya sebagai bentuk perampasan wilayah yang melukai harga diri dan kedaulatan rakyat Aceh.
“Keempat pulau itu bukan sekadar wilayah administratif, melainkan simbol sejarah, budaya, dan identitas Aceh. Tidak bisa diabaikan begitu saja,” jelas Ammar.
Ikamba menuntut pemerintah daerah dan pusat segera memberikan klarifikasi terbuka dan bertanggung jawab. Mereka juga mendesak Gubernur Aceh, Mualem, agar bersikap tegas dan mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Jika tidak ada tindakan nyata, kami siap menggalang gerakan massa dan menuntut pertanggungjawaban penuh. Ini bukan sekadar soal tapal batas, tapi soal harga diri dan darah para pejuang yang telah syahid. Jangan biarkan pengorbanan mereka menjadi sia-sia,” tegas Ammar.
Di akhir pernyataannya, Ammar menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar konflik administratif, melainkan menyangkut keadilan, hak asasi, dan martabat rakyat Aceh.
“Pemerintah harus berhenti mempermainkan rakyat dengan kebijakan arogan dan sepihak. Ini tentang keberadaan dan harga diri Aceh!” pungkasnya.