PUNCA.CO – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyerang tiga fasilitas nuklir Iran memicu kecaman dari sejumlah pihak dan mendorong wacana pemakzulan terhadap dirinya.
Trump memerintahkan serangan itu sebagai bentuk dukungan kepada Israel dalam menghadapi ancaman nuklir Iran. Dalam unggahan di platform X, ia menyebut bahwa fasilitas Fordow, Natanz, dan Isfahan berhasil dihantam oleh militer AS.
Namun, langkah sepihak Trump tersebut dianggap membahayakan kepentingan nasional dan melanggar hukum. Sejumlah anggota parlemen, terutama dari Partai Demokrat, menilai tindakannya telah melewati batas kewenangan sebagai presiden.
Anggota Kongres Sean Casten (D-IL) menjadi salah satu yang paling vokal mengecam Trump. Ia menilai serangan ke Iran tanpa persetujuan legislatif merupakan pelanggaran Undang-Undang Kekuasaan Perang (War Powers Act) tahun 1973, yang mengharuskan presiden memberi tahu Kongres dalam waktu 48 jam setelah pengerahan militer. Tindakan ini jelas melanggar hukum dan bisa menjadi dasar pemakzulan.
Dukungan terhadap pemakzulan juga datang dari Senator Bernie Sanders. Ia menekankan pentingnya pengawasan legislatif terhadap keputusan militer sebesar ini. Senada, anggota Kongres Alexandria Ocasio-Cortez menyebut tindakan Trump sebagai ancaman serius bagi stabilitas negara.
“Ini sangat berbahaya. Presiden bertindak sepihak dan bisa menyeret negara kita ke dalam perang yang panjang dan mahal,” kata Ocasio-Cortez, dikutip dari The Hil (21/6/2025).
Tak hanya Demokrat, beberapa tokoh Partai Republik seperti Thomas Massie juga menyoroti perlunya Kongres mempertegas batas kewenangan presiden dalam urusan militer.
Pemimpin mayoritas Senat, Chuck Schumer, bahkan menyerukan penggunaan War Powers Act untuk meninjau ulang keputusan Trump dan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan.
Meski Trump mengklaim bahwa serangan itu merupakan upaya pencegahan terhadap ancaman nuklir Iran, para pengkritik menyebutnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang membahayakan sistem demokrasi Amerika.
Wacana pemakzulan pun kini bergema di Kongres, sebagai respons terhadap tindakan yang dinilai mengabaikan konstitusi dan membahayakan perdamaian global.