Pasca damai dan perjanjian MoU Helsinki, Malik Mahmud, sebagai Pimpinan Politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat Wali Nanggroe Aceh, memberikan mandat kepada Yahya Mu’ad atau Muhammad Yahya Tengku Mu’ad untuk membentuk partai politik lokal dan menyelesaikan seluruh kelengkapan administratif yang diperlukan.

Setelah menerima mandat tersebut, Yahya Mu’ad segera menggelar rapat ‘Bansigom Aceh’ yang dihadiri oleh para mantan petinggi GAM dari seluruh Aceh, tokoh ulama, aktivis, dan tokoh pemuda. Dalam rapat itu, mereka sepakat untuk membentuk Partai GAM. Usai rapat, Yahya Mu’ad langsung bergerak ke berbagai pelosok Aceh guna melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan dari masyarakat, tokoh ulama, serta tokoh-tokoh GAM lainnya.

Yahya Mu’ad berhasil merampungkan struktur partai guna kelengkapan administrasi untuk pendirian partai. Ia kemudian kembali ke Banda Aceh dan mendirikan kantor sekretariat pertama dengan nama Partai GAM (tanpa akronim), yang menggunakan lambang bulan bintang di tengahnya. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Partai Aceh.

Pada tanggal yang sama dengan peresmian kantor sekretariat partai, yakni 7 Juli 2007, Partai GAM yang saat itu masih dalam tahap verifikasi dan belum disahkan secara resmi oleh Kemenkumham, mendapat penolakan dari pihak kepolisian. Penolakan tersebut disampaikan melalui surat resmi yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Kota Besar Banda Aceh, Kombespol Drs. Zulkarnain. Alasannya, tampilan lambang Partai GAM pada pamplet kantor sekretariat di nilai memberi perspektif dan identik dengan simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Seiring dengan berbagai penolakan yang muncul, pada 28 Januari 2008, Kemenkumham Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan surat peninjauan kembali terhadap papan nama partai dan logo bergambar bulan bintang di tengah, yang dianggap menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Surat tersebut memaksa Yahya Mu’ad dan tim untuk kembali memperbaiki seluruh berkas administrasi partai yang jumlahnya luar biasa banyak.

Itulah sosok Yahya Mu’ad, dengan sigap ia kembali turun ke berbagai wilayah untuk menyosialisasikan serta menyempurnakan administrasi partai. Tanpa mengenal lelah dan tanpa cukup waktu untuk beristirahat, ia bersama tim terus berjuang agar cikal-bakal partai kebanggaan rakyat Aceh itu benar-benar lahir sebagai wadah perjuangan baru bagi masa depan Aceh. Semoga Almarhum mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.

Bulan bintang di tengah logo partai akhirnya diganti dengan tulisan “GAM,” akronim dari Gerakan Aceh Mandiri. Seluruh berkas kepengurusan, surat domisili, dan dokumen sekretariat dari 116 kecamatan, 14 kabupaten, hingga sekretariat pusat Partai GAM versi Gerakan Aceh Mandiri disesuaikan ulang. Pamflet lambang partai pun ikut diganti di seluruh sekretariat sesuai ketentuan yang berlaku.

Ironisnya, pada 6 Februari 2008, pihak kepolisian kembali mengeluarkan surat penolakan. Kali ini, surat tersebut dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan berisi keberatan terhadap penggunaan lambang atau simbol “GAM” pada logo, pamflet, serta nama Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM).

Yahya Mu’ad bersama tim terus berupaya menyelesaikan proses verifikasi Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Upaya ini turut melibatkan Muzakir Manaf sebagai Ketua Umum, Alm. Tengku Hasanuddin bin Sabon sebagai Bendahara, serta Alm. Kamaruddin Abu Bakar (Abu Razak) sebagai Wakil Ketua Umum.

Karena muncul desas-desus dan kabar yang menyebutkan bahwa peluang Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) untuk lolos verifikasi di Kemenkumham sangat kecil, ditambah persoalan penolakan dari pihak Kepolisian yang belum menemukan titik temu, serta tenggat waktu verifikasi yang hampir habis. Malik Mahmud bersama para tokoh mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Yahya Mu’ad memutuskan untuk berkonsultasi dengan Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu, Jusuf Kalla. Berkat konsultasi tersebut, dan kepiawaian Jusuf Kalla dalam bernegosiasi, akhirnya tercapai sebuah kesepakatan bersama.

Jusuf Kalla menulis sebuah memo tangan di atas kop surat Wakil Presiden yang ditujukan kepada Kemenkumham Wilayah Aceh. Isi memo tersebut meminta agar Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) diberi waktu untuk memperbaiki kembali berkas-berkas administrasi, sekaligus mengganti nama partai menjadi Partai Aceh, dengan mengubah tulisan “GAM” pada lambangnya menjadi “ACEH”.

Masih bersama Yahya Mu’ad. Kali ini, ia bersama Mualem atau Muzakir Manaf dan tim mendaftarkan Partai Aceh ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk dapat ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 2009. Inilah pemilu legislatif pertama bagi Partai Aceh, yang merupakan wadah politik resmi besutan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Setelah resmi mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilu 2009, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh melakukan proses verifikasi terhadap Partai Aceh. Dengan semangat yang tinggi dan keyakinan kuat untuk melanjutkan perjuangan rakyat Aceh melalui jalur politik, Yahya Mu’ad bersama jajaran pimpinan partai akhirnya bisa menghela sedikit napas lega. KIP Aceh menyatakan bahwa Partai Aceh lolos verifikasi sebagai partai peserta Pemilu 2009.

Berbeda dengan yang lain, wajah Yahya Mu’ad masih belum menampakkan kegembiraan, meskipun Partai Aceh telah resmi mendapatkan nomor urut sebagai peserta Pemilu 2009. Dalam benaknya, masih terlalu dini untuk tersenyum bahagia. Perjuangan panjang dari medan gerilya menuju jalur politik baru saja menunjukkan sedikit perkembangan, perjuangan masih panjang, dan kemenangan sejati belum sepenuhnya tercapai.

Tanpa membutuhkan waktu lama, Partai Aceh dengan cepat dikenal luas oleh masyarakat Aceh saat itu. Didampingi Bendahara Partai Aceh, Tengku Hasanuddin bin Sabon, Yahya Mu’ad bersama tim menyerahkan berkas calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2009- 2014 kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Meski dalam hatinya penuh keyakinan akan kemenangan di Pemilu Legislatif 2009, tidak tampak sedikit pun raut keangkuhan di wajahnya. Begitulah sosok Yahya Mu’ad, dikenal rendah hati, penuh rasa hormat, dan selalu menghargai siapa pun di sekelilingnya.

Dalam senyap, mereka bergerak merebut hati rakyat Aceh, dan dalam sujud, mereka memohon kemenangan kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Akhirnya, di bawah kepemimpinan Ketua Umum H. Muzakir Manaf, Bendahara Umum Tengku Hasanuddin bin Sabon, serta Sekretaris Jenderal Tengku Yahya Mu’ad, Partai Aceh berhasil memenangkan Pemilihan Umum tahun 2009 dengan meraih 33 dari total 69 kursi di parlemen Aceh.

Perjuangan terus berlanjut. Tengku Yahya Mu’ad bersama seluruh kader Partai Aceh kembali berupaya mencetak sejarah baru. Setelah berhasil meraih sekitar 47 persen kursi parlemen pada Pemilu 2009, Partai Aceh mendapatkan peluang untuk mengusung calon sendiri dalam Pilkada Aceh 2012. Perjuangan itu membuahkan hasil, pasangan dr. H. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh berhasil terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012–2017. Yahya Mu’ad pun akhirnya bisa tersenyum bahagia karena turut ambil bagian dalam menciptakan sejarah luar biasa yang sebelumnya dianggap nyaris mustahil.
Namun, senyum itu tidak bertahan lama. Akibat dinamika kaderisasi internal partai, pada tahun 2012 pasca kemenangan Pilkada, Yahya Mu’ad tidak lagi mendapat kesempatan melanjutkan perannya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Aceh. Tanpa dirinya, pada Pemilu Legislatif 2014, saat jumlah kursi DPRA bertambah dari 69 menjadi 81, Partai Aceh justru kehilangan 4 kursi dan hanya meraih 29 kursi parlemen.

Sosok yang dikenal sebagai juru penerang ideologis dan menguasai secara utuh ajaran 7 Neuduëk Nanggroë ini, wafat pada 4 September 2021 dalam usia 58 tahun. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya dalam perjuangan untuk kepentingan rakyat Aceh, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, menganugerahkan gelar kehormatan kepada almarhum Tengku Yahya Mu’ad pada awal Desember 2024.
Penulis : Awwaluddin Buselia, S.I.P