Dua puluh lima tahun bukan waktu yang singkat. Namun, perjalanan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) mengelola Sabang dan Pulo Aceh justru menunjukkan betapa visi besar pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang masih sebatas mimpi. Tujuan awalnya jelas; mendorong ekspor dengan harga kompetitif, membuka lapangan kerja, menarik investasi asing, memperbesar modal dalam negeri, dan mendapatkan transfer teknologi untuk produksi berstandar internasional. Sayangnya, semua itu belum terlihat di lapangan.
Ironisnya, meski pemerintah telah memberikan insentif fiskal besar, pembebasan bea masuk, PPN, pajak barang mewah, hingga cukai, namun BPKS tetap gagal menjadikan Sabang magnet investasi. Idealnya, fasilitas ini menjadi “karpet merah” bagi investor. Faktanya, modal asing enggan masuk, anggaran BPKS terus menurun, dan banyak aset berakhir mangkrak. Yang tersisa hanyalah papan nama proyek, gedung kosong, dan dermaga yang lebih sering sepi daripada sibuk.
Dermaga pelabuhan dan unit pelayanan terpadu memang berdiri megah. Bahkan, ratusan MoU sudah diteken. Tetapi, di balik angka-angka itu, realitasnya pahit: investor tak kunjung merealisasikan komitmen modal. Skenario awal membangun pelabuhan besar diasumsikan akan memicu arus ekspor-impor. Kenyataannya, hanya impor yang masuk. Ekspor nihil. Kawasan industri yang diharapkan menjadi pusat produksi perikanan, perdagangan, dan transportasi laut tak pernah terbentuk. Hasilnya, dermaga yang megah itu justru menjadi monumen kegagalan perencanaan, dengan kapal yang bersandar hanya sesekali, itu pun membawa barang impor atau kapal pesiar.
Baca juga: Pimpin Apel Perdana, Marzuki Ali Basyah Ajak Personel untuk Tidak Menzalimi Masyarakat
Bagi investor, pertanyaan mendasar belum terjawab: apa konsep nyata kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang? Infrastruktur terpadu seperti apa yang siap digunakan? Berapa lama modal kembali? Selama jawaban-jawaban ini kabur, wajar jika modal asing memilih menunggu. Bahkan rencana Mubadala membangun shorebase migas di Sabang hanya akan menjadi angin lalu jika manajemen BPKS tidak solid dan gagal membangun trust.
Masalah terbesar BPKS justru ada di dalam tubuhnya sendiri: manajemen yang tidak berkesinambungan. Setiap pergantian pimpinan berarti mengganti sistem, struktur, personel, bahkan merekrut SDM yang minim pemahaman tentang kawasan pelabuhan bebas. Hasilnya, kebijakan tambal sulam yang memutus kesinambungan program. Lebih parah lagi, intrik internal mantan pejabat yang tetap berusaha mempengaruhi kebijakan demi posisi, terus menggerus fokus kelembagaan.
Kesalahan kerangka pikir (logical framework) juga jelas terlihat. Pembangunan sarana-prasarana dilakukan tanpa strategi matang, sehingga output tidak sejalan dengan tujuan. Beberapa proyek besar justru menjadi aset tak berguna, membebani negara, dan membuka celah korupsi.
Di titik ini, Dewan Kawasan Sabang (DKS) yang diketuai Gubernur Aceh, Mualem, harus mengambil langkah tegas. Evaluasi menyeluruh tidak bisa ditunda: dari audit aset fungsional dan terbengkalai, pengukuran kinerja BPKS sebagai BLU, hingga pembenahan total tata kelola internal. Tanpa perombakan mendasar, BPKS akan terus berjalan di tempat, membangun retorika, tapi gagal memberi manfaat nyata bagi Sabang, Pulo Aceh, dan Aceh secara keseluruhan.
Penulis: Awwaluddin Buselia, Tim Analis Sosial Politik, Emirates Development Research (EDR)