PUNCA.CO – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Ar-Raniry menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Dampak Negatif Aktivitas Tambang Ilegal terhadap Stabilitas Sosial, Lingkungan, dan Penegakan Hukum di Aceh”, pada Jum’at (29/8/2025). Diskusi tersebut menyoroti kerusakan lingkungan dan problem hukum yang semakin kompleks akibat maraknya pertambangan tanpa izin (PETI).
Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry, Tengku Raja Aulia Habibie, dalam sambutannya menegaskan bahwa tambang ilegal tidak hanya merusak ekonomi lokal, melainkan juga mengancam masa depan Aceh secara sosial, ekologis, hingga kepastian hukum.
“Generasi muda tidak boleh diam ketika hutan gundul, sungai keruh, dan hukum hanya jadi teks di atas kertas,” ujarnya.
Moderator diskusi, Nabila Amira Septiana, ikut memantik refleksi kritis dengan mempertanyakan fungsi hukum di Indonesia. “Pohon habis ditebang, air yang dulu biru kini cokelat, masyarakat kehilangan sumber hidup. Pertanyaannya, mau diam atau bertindak?” ujarnya.
FGD tersebut menghadirkan narasumber lintas sektor, mulai dari akademisi hingga aparat penegak hukum: Ir. Surayya Kamaruzzaman, Tirahmah, IPTU Wahyudi (Ditreskrimsus Polda Aceh), dan Afifuddin dari WALHI Aceh.
IPTU Wahyudi mengakui, Polda Aceh menghadapi dilema dalam menindak PETI. Hingga Agustus 2025, tercatat 19 kasus ditangani, namun banyak warga menggantungkan hidup dari tambang ilegal. “Memenjarakan mereka bukan solusi. Dibutuhkan regulasi yang jelas, pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan dukungan pembiayaan alternatif,” ujarnya.
Sementara itu, WALHI Aceh melalui Afifuddin mengungkapkan data kerusakan lingkungan yang kian parah. Pada 2024, tercatat 8.107 hektare wilayah di Aceh terdampak PETI, 45% di antaranya berada di hutan lindung. “Air adalah sumber kehidupan. Jika DAS rusak, maka hak dasar masyarakat untuk hidup sehat ikut terampas,” katanya.
Baca juga: Gerhana Bulan Total Bakal Hiasi Langit Aceh pada 7-8 September Mendatang
Dampak kesehatan juga menjadi sorotan. Surayya Kamaruzzaman mengungkap penggunaan merkuri di tambang emas menyebabkan cacat lahir pada bayi dan masalah reproduksi perempuan. Ia menyebut kerugian negara akibat tambang ilegal mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. “Aceh harus belajar dari tragedi daerah lain, dari anak meninggal di lubang tambang Kalimantan hingga konflik tambang pasir di Blitar. Solusi kita harus holistik,” tegasnya.
Dari aspek regulasi, Tirahmah menekankan bahwa PETI jelas melanggar UU Minerba. Meski Aceh pernah memberlakukan moratorium merkuri pada 2014, implementasi masih lemah. “Tanpa mekanisme izin resmi dan dokumen Amdal, aktivitas apapun tetap ilegal,” jelasnya.
Baca juga: NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI
Diskusi semakin menghangat ketika mahasiswa menyinggung dugaan keterlibatan oknum aparat dan elit politik dalam membacking tambang ilegal. Sejumlah peserta bahkan menceritakan langsung dampak di lapangan, mulai dari sulitnya mendapatkan air bersih hingga kasus keguguran ibu hamil akibat pencemaran.
FGD yang dipimpin Diki Miswar, Menteri Kesekretariatan DEMA UIN Ar-Raniry, menyimpulkan bahwa tambang ilegal adalah masalah multidimensi: lingkungan, sosial, ekonomi, kesehatan, dan hukum. Solusi harus komprehensif, mulai dari regulasi tegas, penegakan hukum, rehabilitasi lingkungan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Menutup acara, Diki menyerukan konsistensi gerakan mahasiswa dalam menjaga alam Aceh. “Kami menolak perusakan alam Aceh. Mahasiswa tidak boleh gentar meski ada risiko kriminalisasi. Ini adalah tanggung jawab generasi kita untuk menjaga tanah, air, dan udara Aceh bagi masa depan,” pungkasnya.