PUNCA.CO – Memasuki dua dekade sejak tercapainya perdamaian melalui MoU Helsinki, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli, A.Md, menyerukan agar Aceh tidak hanya puas dengan capaian yang ada, melainkan mengambil peran lebih besar di tingkat nasional dan internasional.
Dalam forum internasional Aceh Peace Forum (APF) ke II, yang dihadiri peserta dari Thailand, Myanmar, Filipina, Timor Leste, Malaysia, dan sejumlah negara lainnya, Zulfadhli mengawali sambutan penutupannya dengan ucapan hangat. “Selamat datang pada semua peserta dari Thailand, Myanmar, Philipina, Timor Leste, Malaysia dan lainnya,” ujarnya, di Ruang Badan Anggaran DPRA, Kamis (14/8/2025).
Ia menjelaskan, perjalanan dua puluh tahun damai telah membawa banyak kemajuan, namun masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Aceh.

“Hari ini, perdamaian Aceh sudah 20 tahun, banyak hal baik yang kita sudah capai namun masih banyak juga yang belum bisa kita capai sebagaimana kita rencanakan,” ujar Zulfadhli.
Baca juga: Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Gelar Aceh Peace Forum (APF) ke-II
“Namun, kita terus berupaya memperkuat diplomasi, memperbaiki komunikasi dengan pemerintah pusat, memastikan pelaksanaan UUPA berjalan secara efektif,” tambahnya.
Zulfadhli juga mengenang betapa kuatnya solidaritas masyarakat sipil nasional, regional, dan internasional yang ikut mendukung proses perdamaian Aceh di masa lalu.
“Aceh memiliki pengalaman perdamaian, dulunya solidaritas Masyarakat sipil nasional, regional dan internasional begitu kuat, kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Saya yakin, peserta hari ini sudah banyak membantu Aceh semasa konflik, tergabung dalam SCHRA dulunya, kami apresiasi dan ucapkan terima kasih sebesar-besarnya,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Tidak hanya berbicara tentang masa lalu, Zulfadhli mendorong agar Aceh memanfaatkan modal sosial dan pengalaman tersebut untuk membantu wilayah lain yang masih berkonflik.
“Kedepan, pengalaman Aceh harus kita bagi ke wilayah lain, Aceh harus memprakarsai solidaritas bagi terwujudnya perdamaian diwilayah yang masih berkonflik seperti wilayah Patani di Thailand Selatan. Aceh dapat menggagas solidaritas untuk perdamaian di Patani,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan dukungan agar Aceh menjadi destinasi pembelajaran resolusi konflik bagi dunia. Kita harus menyiapkan instrumen untuk mendukung langkah ini. Dia berharap agar sisi positif dari pengalaman Aceh bisa memberikan manfaat dan meminta koreksi serta masukan terhadap proses perdamaian Aceh.
“Kami mendukung penuh agar Aceh menjadi tempat kunjungan untuk banyak orang belajar, jangan lagi ulangi kelemahan kita, namun ambil dari pengalaman bagus Aceh, tapi kita minta berikan koreksi dan masukan bagi proses penguatan perdamaian di Aceh,” tuturnya.
Menutup sambutannya itu, Zulfadhli yakin bahwa Aceh memiliki potensi besar untuk kembali berjaya. “Aceh punya Sejarah yang gemilang, saatnya kita bekerja keras untuk mewujudkan era kemajuan dan kegemilangan Aceh di masa depan,” pungkasnya.
Zulfadhli mengajak semua pihak, baik di tingkat lokal maupun internasional, untuk tidak membiarkan perdamaian Aceh hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadikannya sebagai pijakan menuju masa depan yang lebih sejahtera dan bermartabat.