Dua puluh tahun pasca perdamaian, Aceh kini berada di persimpangan penting. Fase pertama telah membawa ketenangan, fase kedua menuntut kemandirian. Tantangan memang belum sirna, kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan, dan investasi yang belum optimal. Namun, di tengah realitas itu, harapan baru tumbuh.
Pemerintahan Mualem–Dekfad hadir dengan modal strategis kedekatan dengan pemerintah pusat. Sinergi ini membuka peluang besar, peluang revisi UUPA dan mengusulkan perpanjangan Dana Otsus. Momentum ini penting agar kewenangan yang selama ini tersendat dapat dijalankan penuh, demi kepentingan rakyat Aceh.
Visi yang dibawa jelas, memberdayakan ekonomi rakyat, mengoptimalkan sumber daya alam, memperkuat pendidikan dan kesehatan, serta memastikan pengelolaan Dana Otsus tepat sasaran. Pertanian, perikanan, dan perkebunan diarahkan memberi nilai tambah bagi petani dan nelayan, mengurangi ketergantungan pasar luar, dan menciptakan kemandirian ekonomi Gampong
Baca juga: Eks Keuchik di Pidie Dituntut 1 Tahun 9 Bulan Penjara dalam Kasus Korupsi Dana Desa
Isu strategis seperti Qanun Bendera dan Lambang juga membutuhkan solusi elegan, menjaga marwah Aceh tanpa memutus jembatan komunikasi dengan pusat. Begitu pula Lembaga Wali Nanggroe, yang diharapkan tampil sebagai pemersatu dan penguat adat-budaya, bukan sekadar simbol.
Aceh memiliki 26 kewenangan khusus, modal besar untuk melangkah. Kini yang dibutuhkan adalah konsolidasi elit, kekompakan politik lokal, dan kemauan kuat untuk menutup buku konflik masa lalu. Dengan pemerintahan bersih tanpa korupsi, pro-rakyat, dan berorientasi hasil, Aceh dapat bergerak dari fase damai menuju fase sejahtera.
Rakyat Aceh menaruh harapan besar pada pemerintah Aceh saat ini, optimisme dan kepercayaan. Pemerintahan berorientasi pro rakyat pasti mendapatkan dukungan rakyat, dan sinergi pusat-daerah, Aceh bisa berdiri tegak, berdaulat di tanah sendiri, dan sejahtera untuk semua.
Penulis: Dr. Usman Lamreung, M.Si / Direktur Lembaga Emirates Development Research (EDR)