PUNCA.CO – Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan surat edaran terbaru yang mewajibkan bukti tanda lunas Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai syarat dalam berbagai pengurusan administrasi.
Surat edaran tersebut ditujukan kepada seluruh kepala organisasi perangkat daerah (OPD) serta para keuchik di Banda Aceh. Dalam aturan ini, bukti lunas PBB-P2 tahun berjalan wajib dilampirkan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), Non-ASN, maupun masyarakat umum yang mengurus dokumen administrasi, seperti:
1. ASN yang akan menandatangani SKP.
2. ASN yang mengusulkan kenaikan gaji berkala.
3. ASN yang mengusulkan kenaikan pangkat.
4. PPPK yang akan menandatangani perjanjian kerja.
5. Non ASN yang akan menandatangani perjanjian kerja.
6. Penyedia barang dan jasa yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh.
7. Orang perseorangan/kelompok yang mengurus surat usaha dan surat pribadi di kantor keuchik dan kantor camat, kecuali surat keterangan miskin.
Baca juga: Sepanjang Tahun, Tiga Pasangan Gay Terjaring Satpol PP–WH di Banda Aceh
Langkah ini, menurut Pemkot, dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, kebijakan tersebut menuai sorotan. Direktur Emirates Development Research (EDR), Dr. Usman Lamreung, menilai aturan ini bisa menimbulkan masalah serius jika tidak dijalankan dengan bijak.
“Secara kasat mata memang terlihat tegas dan visioner, karena pemerintah ingin memastikan setiap rupiah pajak daerah terbayar. Tetapi menggantungkan hak administrasi pada kewajiban pajak tanpa dasar hukum yang kokoh sama saja mengundang gugatan,” ujarnya, Kamis (28/8/2025).
Usman juga mengingatkan, kebijakan ini berpotensi menyulitkan warga yang secara ekonomi terbebani, namun tidak masuk kategori “miskin” menurut standar pemerintah.
“Efek domino yang bisa muncul adalah resistensi masyarakat, citra pemerintah yang dianggap mempersulit rakyat, bahkan turunnya kepercayaan publik. Bukannya menaikkan PAD, yang lahir justru antipati dan ketidakpatuhan,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa pemungutan pajak pada dasarnya adalah kontrak sosial. Jika pemerintah menerapkannya secara koersif tanpa memberi kemudahan dan rasa keadilan, maka yang muncul bukanlah kepatuhan, melainkan perlawanan diam-diam dari masyarakat.