Satu abad sejak kelahiran Wali Hasan Tiro, masih ada satu pertanyaan mendasar yang tak pernah terjawab:
“Kenapa Tgk. Hasan Tiro tidak melahirkan atau menyiapkan satu-dua orang penerus (putra mahkota) yang mampu melanjutkan perjuangannya dengan arah yang jelas?”
Baca juga: Peringatan World Cleanup Day (WCD) akan kembali dilaksanakan di Aceh
Pertanyaan ini bukan sekadar kritik terhadap pribadi Hasan Tiro, melainkan problem klasik yang kerap muncul dalam sejarah banyak gerakan di seluruh dunia. Dalam teori politik, fenomena ini dikenal sebagai crisis of succession, krisis kepemimpinan yang terjadi ketika perjuangan terlalu bergantung pada figur tunggal tanpa regenerasi sistemik.
Warisan Fondasi, Tapi Tanpa Kader
Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tiga fondasi utama; ideologi anti-Jawa sebagai narasi kolonialisme internal, pendidikan militer sebagai strategi, dan simbol historis Aceh sebagai bangsa berdaulat sebelum bergabung ke Republik Indonesia.
Baca juga: Pansus DPRA Bongkar Dugaan Manipulasi Pajak BBKB PT Mifa Bersaudara Rp45,3 Miliar
Namun, dari ketiga pilar itu, orientasi militer jauh lebih dominan dibandingkan pembangunan kader politik sipil. Pertanyaan yang menggantung: apakah Hasan Tiro membayangkan Aceh suatu hari menjadi negara dengan model militeristik? Sebab sulit ditemukan jejak kaderisasi sipil yang kuat dalam perjalanan perjuangannya.
Membaca Hasan Tiro Lewat Teori Gerakan
Beberapa teori bisa membantu memahami mengapa lubang kaderisasi ini terjadi:
Teori Gerakan Sosial, Hasan Tiro lebih menekankan mobilisasi sumber daya dan penguatan ideologi daripada menyiapkan penerus. Ia memilih berdiri sebagai figur sentral ketimbang membangun kepemimpinan kolektif.
Baca juga: Mualem Beri Peringatan Keras, dan akan Tertibkan Tambang Ilegal
Teori Hegemoni Antonio Gramsci, Gramsci menekankan pentingnya war of position, membangun kesadaran rakyat, selain war of manoeuvre lewat senjata. Hasan Tiro lebih menekankan jalur militer, sementara basis kesadaran politik rakyat tidak terbentuk secara kokoh.
Teori Liberation Movement Frantz Fanon dan Paulo Freire, Fanon mengingatkan bahwa pembebasan sejati bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga membangun kesadaran agar rakyat tidak kembali terjajah oleh elitnya sendiri. Tanpa penerus ideologis, perjuangan Aceh pasca-Hasan Tiro justru kembali terjebak dalam elitisme politik.
Aceh Pasca-Hasan Tiro: Dari Perjuangan ke Kekuasaan
Realitas setelah wafatnya Hasan Tiro memperlihatkan tiga hal:
Hilang arah, GAM terjebak dalam konflik internal dan pragmatisme politik.
Elitisasi perjuangan, cita-cita rakyat beralih menjadi ajang rebutan kursi kekuasaan.
Kehilangan basis moral, dari idealisme kemerdekaan bergeser ke bagi-bagi jabatan.
Fakta ini menegaskan, tanpa kaderisasi, kesinambungan perjuangan runtuh bersama wafatnya tokoh sentral.
Baca juga: Empat Geng Motor di Banda Aceh Deklarasi Pembubaran Diri
Hasan Tiro adalah figur besar, karismatik, dan bapak perjuangan Aceh. Namun ia juga manusia biasa yang meninggalkan “lubang kosong”, yaitu ketiadaan penerus yang disiapkan dengan matang.
Mengapa Hasan Tiro tidak menyiapkan penerus? Jawabannya mungkin bercabang, trauma pengkhianatan internal, ego kepemimpinan, atau strategi perjuangan yang memang terpusat pada dirinya. Yang jelas, kelalaian kaderisasi itu kini menjadi pelajaran besar bagi generasi Aceh hari ini.
Baca juga: Wali Nanggroe Penuhi Undangan Hari Kebangsaan Malaysia
Satu abad Hasan Tiro bukan hanya momen untuk mengagumi keberaniannya, tetapi juga untuk belajar dari kelemahannya. Jika generasi Aceh ingin berdaulat dalam arti ekonomi, politik, dan budaya, maka pelajaran utamanya jelas:
“Jangan biarkan perjuangan bergantung pada satu figur. Bangun kaderisasi, kelembagaan, dan kesadaran rakyat.”
Tanpa itu semua, Aceh hanya akan terus mengulang siklus kehilangan arah setiap kali tokoh besar pergi.
Penulis: Cut Farah Meutia