PUNCA.CO – Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI kembali mengguncang publik Aceh. Dalam perkara nomor 158-PKE-DKPP/VI/2025, DKPP secara tegas menyatakan adanya praktik curang yang dilakukan oknum Komisioner KIP Kota Banda Aceh demi meloloskan Caleg DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ghufran, pada Pemilu 2024 lalu.
Dalam sidang yang digelar 3 September 2025, majelis hakim DKPP menguraikan bukti keterlibatan Yusri Razali (Ketua KIP Kota Banda Aceh) dan beberapa anggotanya yang kedapatan menggelembungkan suara Ghufran dengan cara “mengambil” perolehan suara caleg PKS lain di bawahnya. Praktik kotor itu berbuah manis bagi Ghufran yang akhirnya duduk di Senayan.
Atas dasar temuan tersebut, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras sekaligus memberhentikan Yusri Razali dari jabatan ketua KIP Kota Banda Aceh. Sementara Saiful Haris, salah seorang anggota KIP, turut mendapat peringatan keras. DKPP juga memerintahkan KPU RI melaksanakan putusan ini serta meminta Bawaslu RI mengawasi prosesnya.
Baca juga: CSR PT PEMA Diduga Mengalir untuk Kegiatan Universitas Trisakti
Menanggapi putusan itu, tokoh Barat Selatan Aceh sekaligus mantan anggota DPR RI, Sayed Mustafa Usab, SE., M.Si, menyatakan kekecewaannya. Ia menilai kasus ini memperlihatkan secara gamblang permainan kotor yang dilakukan Ghufran, Caleg PKS Dapil Aceh I yang kini sudah duduk sebagai anggota DPR RI.
“Perbuatan ini jelas mencederai demokrasi, mengkhianati suara rakyat, dan merusak citra PKS yang selama ini dikenal tegas terhadap kader yang berbuat curang,” tegas Sayed Mustafa, Rabu (3/9/2025).
Lebih jauh, ia mendesak Presiden PKS dan DPP PKS agar segera mengambil langkah tegas dengan memecat Ghufran dari keanggotaan partai. Menurutnya, jika kasus ini dibiarkan, kepercayaan rakyat Aceh terhadap PKS bisa runtuh.
“Kalau dibiarkan seperti ini, publik makin hilang percaya pada penyelenggara pemilu dan DPR RI. PKS harus berani bersikap kalau tidak ingin kehilangan simpati rakyat Aceh,” pungkasnya.
Saat ini, PKS tercatat meraih dua kursi DPR RI dari Aceh pada Pemilu 2024. Namun, kasus ini dikhawatirkan bisa menjadi noda besar yang menggerus kepercayaan publik terhadap partai berbasis Islam tersebut.