Home Opini Pemuda dan Tanggung Jawab Informasi Sehat di Aceh
Opini

Pemuda dan Tanggung Jawab Informasi Sehat di Aceh

Share
ilustrasi
Share

Di Aceh, ruang publik kini tidak hanya terbangun di meunasah atau warung kopi, tetapi juga di layar-layar kecil yang kita genggam setiap saat. Percakapan tentang politik, agama, bahkan gosip lokal kini bergeser dari bale-bale kayu ke grup WhatsApp dan linimasa media sosial. Dalam ruang baru itu, siapa pun bisa menjadi penyampai kabar dan juga, tanpa sadar, penyebar salah informasi.

Fenomena ini bukan cerita kecil. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat, lebih dari 79 persen penduduk Indonesia kini terhubung ke internet, dengan kelompok usia muda sebagai pengguna dominan.

Baca juga: 105,7 Triliun Dana Otsus Aceh Dikelola Konsumtif, Kompensasi Damai Sia-sia

Di Aceh, proporsi pemuda bahkan mencapai lebih dari sepertiga populasi. Artinya, masa depan ruang informasi kita berada di tangan mereka yang hari ini masih kuliah, bekerja serabutan, atau sekadar mencari jati diri di dunia digital.

Namun, derasnya arus informasi tidak selalu sejalan dengan kedalaman pemahaman. Laporan Kominfo menyebutkan, ribuan hoaks masih beredar setiap tahun dari isu politik, kesehatan, hingga agama. Banyak di antaranya berakar dari forward message tanpa verifikasi. Ironisnya, pesan yang paling sering dibagikan justru yang paling provokatif.

Dalam survei nasional tentang Indeks Literasi Digital 2023, Indonesia memang sudah masuk kategori sedang, tetapi masih lemah pada dua aspek penting: etika dan keamanan digital. Artinya, sebagian besar masyarakat mampu mengakses informasi, namun belum sepenuhnya mampu memilah dan mengelola dampaknya terhadap orang lain.

Baca juga: Dr. Usman Lamreung: Gagasan Mualem Bisa Jadi Jalan Baru Cetak Dokter Spesialis di Aceh

Ruang yang perlu dijaga

Aceh memiliki sejarah panjang dalam menjaga nilai-nilai kebenaran dan keseimbangan. Di masa lalu, informasi disampaikan lewat khutbah, hikayat, dan tambeh ulama. Kini, pesan-pesan itu bersaing dengan caption singkat dan video berdurasi 15 detik. Tradisi tutur yang berlapis makna mulai tergeser oleh budaya share first, think later.

Dalam situasi ini, pemuda Aceh perlu mengambil peran baru, bukan sekadar pengguna, tapi penjaga moral ruang digital. Mereka bukan hanya “netizen”, tetapi pewaris nilai-nilai kearifan lokal nilai yang menuntun untuk tabayyun sebelum menyebar kabar, musyawarah sebelum menilai, dan menimbang maslahat sebelum berkomentar.

Baca juga: Satu Abad Hasan Tiro dan Krisis Kepemimpinan dalam Perjuangan Aceh

Literasi digital tidak cukup diajarkan di ruang kelas. Ia harus dihidupkan lewat kebiasaan kecil, memeriksa sumber sebelum membagikan tautan, menunda reaksi emosional terhadap berita, dan mengutamakan empati dalam setiap perdebatan daring. Sikap ini sederhana, namun menjadi penyangga utama dari kerusakan informasi.

Gerakan kecil yang berdampak besar

Beberapa komunitas muda di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh mulai mempraktikkan hal ini. Mereka membuat kanal edukasi literasi digital, bekerja sama dengan Dinas Kominfo dan media lokal, serta mengadakan lokakarya fact-checking di kampus.

Gerakan ini memang tidak selalu mendapat sorotan, tetapi merekalah pionir yang perlahan menambal ruang digital dari keretakan disinformasi.

Baca juga: Usman Lamreung: Penegakan Syariat Islam di Aceh Selaras dengan Pancasila

Langkah sederhana seperti itu sesungguhnya melanjutkan semangat gotong royong yang telah lama hidup di Aceh hanya saja, kini dilakukan di dunia maya. Bila dahulu masyarakat bergotong royong membangun masjid atau jalan desa, kini waktunya bergotong royong menjaga kebenaran informasi yang menghubungkan satu sama lain.

Kita semua tahu, dunia digital tidak lagi memberi ruang untuk berpikir lama. Setiap detik adalah dorongan untuk segera bereaksi. Namun, justru di sinilah nilai penting “berhenti sejenak” itu perlu dikembalikan. Berhenti bukan berarti pasif, tapi reflektif.

Sebelum jari menekan tombol share, berhentilah sebentar. Tanyakan pada diri, apakah ini benar, bermanfaat, dan pantas untuk disebarkan? Bila ragu, diam jauh lebih baik daripada memperbanyak kekeliruan. Dalam bahasa agama, ini bukan sekadar etika bermedia, tapi juga tanggung jawab moral.

Baca juga: Meneladani Jejak Bung Hatta, Modal untuk Generasi Emas Indonesia 2045

Aceh adalah tanah yang dibangun atas ilmu, iman, dan akal sehat. Maka, menjaga ruang informasi yang sehat adalah bagian dari menjaga marwahnya sendiri. Pemuda Aceh memiliki daya untuk menjadi penyejuk di tengah riuh kabar palsu.

Tugas itu tidak memerlukan jabatan, hanya kesadaran. Karena pada akhirnya, kebenaran hari ini tidak lagi dijaga oleh wartawan atau ulama saja, tetapi oleh setiap jari yang menekan tombol bagikan.

Penulis: Muhammaad Khalid, S.I.P

Share
Tulisan Terkait

Hujan Deras Picu Longsor di Leupung, Jalan Nasional Banda Aceh–Meulaboh Macet Total

PUNCA.CO – Hujan deras yang mengguyur wilayah Aceh Besar selama dua hari...

Selangkah Lagi, Aceh Raya Siap Jadi Kabupaten Baru di Aceh

PUNCA.CO – Proses pembentukan Kabupaten Aceh Raya sebagai daerah otonomi baru (DOB)...

Rumah Warga di Simpang Tiga Terbakar, Harta Benda Tak Bersisa

PUNCA.CO – Rumah milik seorang warga lansia di Gampong Lamjamee Dayah, Kecamatan...

Bintang Aceh FC Rilis Daftar Pemain untuk Liga 4 Aceh 2025/2026

PUNCA.CO – Klub sepak bola Bintang Aceh FC resmi merilis skuad yang...