PUNCA.CO – Surat edaran Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang melarang segala bentuk pungutan pada saat penerimaan peserta didik baru di seluruh wilayah Aceh pertengahan Juni lalu, dinilai sebagai langkah afirmatif yang patut diapresiasi sebagai upaya menjamin akses pendidikan yang setara dan bebas biaya.
Kebijakan tersebut secara substansial menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat prinsip pendidikan gratis di tingkat menengah atas (SMA/SMK).
Namun demikian menurut Usman Lamreung, Direktur Emirates Development Research (EDR), implementasi kebijakan ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa disertai penguatan aspek pendukung lainnya, khususnya terkait pemenuhan anggaran operasional sekolah.
Baca juga: SAPA Desak Pembubaran Komite Sekolah di Aceh, Tuding Jadi Alat Pungli
“Dengan diberlakukannya kebijakan tanpa pungutan, maka seluruh pembiayaan kegiatan pendidikan seyogianya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Aceh,” ujarnya, Jum’at (11/7/2025).
Hal ini dianggap penting untuk memastikan bahwa kegiatan pengembangan mutu pendidikan, pembinaan prestasi, dan penguatan karakter siswa dapat tetap berjalan secara optimal.
Dalam persoalan tersebut , menurut Usman muncul pertanyaan mendasar: apakah Dinas Pendidikan Aceh telah mengambil langkah strategis, seperti melakukan koordinasi langsung dengan seluruh kepala sekolah, guna memastikan kebijakan tersebut diimplementasikan secara konsisten dan disertai dengan dukungan anggaran yang memadai?
Baca juga: Dugaan Pungli di MIN 5 dan MIN 6 Banda Aceh, Polresta Diminta Segera Usut Tuntas
Minimnya anggaran operasional dinilai kerap menjadi kendala yang signifikan dalam pelaksanaan program pembinaan di sekolah. Usman memberi ilustrasi, di salah satu SMA di Aceh Besar, seorang siswa dari keluarga kurang mampu terpilih sebagai calon anggota Paskibraka. Sayangnya, seluruh pembiayaan kegiatan tersebut harus ditanggung secara mandiri oleh siswa, mengingat pihak sekolah tidak memiliki dana untuk memberikan dukungan.
“Kasus semacam ini menunjukkan bahwa ketiadaan pungutan, apabila tidak diimbangi dengan alokasi dana yang proporsional, justru dapat menimbulkan ketimpangan akses terhadap layanan pendidikan non-formal yang esensial dalam pembentukan karakter dan kapasitas siswa,” jelasnya
“Prinsip dasar dalam kebijakan pendidikan, bahwa pembiayaan pendidikan tidak boleh dibebankan kepada peserta didik, terlebih lagi tanpa landasan regulatif yang jelas,” tambahnya.
Sejak pengalihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK ke tingkat provinsi, maka tanggung jawab terhadap penyediaan kebutuhan dasar pendidikan, termasuk program-program penguatan kreativitas dan mutu siswa, secara hukum dan administratif berada di bawah otoritas Pemerintah Aceh.
“Persoalan pungutan di sekolah tidak dapat dipahami secara parsial, melainkan harus dilihat dalam kerangka sistemik yang mencakup tata kelola pendidikan, transparansi anggaran, serta keterlibatan pemangku kepentingan di level satuan pendidikan,” ungkap Dr. Usman Lamreung, M.Si.
Dalam banyak kasus, kebijakan bersifat top-down yang tidak dibarengi dengan pelibatan kepala sekolah dan jajaran manajerial pendidikan di tingkat lapangan, cenderung gagal dalam implementasi teknis.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Aceh menurutnya perlu menempuh tiga langkah strategis yang harus saling melengkapi; pertama ialah memastikan bahwa tidak adanya lagi pungutan liar dalam bentuk apa pun di seluruh satuan pendidikan.
Kedua, menjamin tersedianya anggaran operasional yang cukup dan akuntabel bagi setiap sekolah. Dan yang ketiga, perlu segera revisi qanun pendidikan yang memuat standar pembiayaan. Upaya ini merupakan prasyarat untuk menciptakan tata kelola pendidikan yang berintegritas dan berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran.