PUNCA.CO – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan aturan baru yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap para pedagang di marketplace online seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan platform e-commerce lainnya. Aturan ini tertuang dalam beleid (kebijakan) yang diteken langsung oleh Sri Mulyani dan mulai berlaku tahun ini.
Dalam ketentuan terbaru itu yang dilansir Detik.com, pemerintah menugaskan pihak penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk memungut Pajak Penghasilan dari para pedagang yang menggunakan platform mereka.
PMSE yang dimaksud bisa berasal dari dalam maupun luar negeri, asalkan memenuhi kriteria tertentu, seperti menggunakan rekening escrow untuk menampung penghasilan, memiliki volume transaksi yang signifikan, serta jumlah pengakses atau trafik melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Baca juga: Operasi Patuh Seulawah 2025 di Mulai, Berikut Tujuh Tindakan Pelanggaran Prioritas
“Menteri melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunjuk Pihak Lain sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan penetapan batasan nilai transaksi dan/atau jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3),” bunyi beleid tersebut, dilihat Senin (14/7/2025).
Aturan ini menyasar pelaku usaha, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima penghasilan lewat rekening bank atau dompet digital dan melakukan transaksi dengan identitas Indonesia, seperti alamat IP lokal atau nomor telepon dengan kode negara +62.
Tak hanya pedagang, perusahaan ekspedisi, asuransi, hingga pihak lain yang bertransaksi dalam ekosistem digital juga akan dikenakan pajak serupa.
Para pedagang online nantinya diwajibkan menyerahkan informasi penting seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat korespondensi kepada pihak marketplace yang ditunjuk sebagai pemungut pajak.
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22,” bunyi Pasal 7 ayat 1 beleid tersebut.
Besaran PPh Pasal 22 yang dikenakan yaitu 0,5 persen dari peredaran bruto atau total penghasilan yang diterima pedagang online. Tarif ini tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
“Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri,” tertulis dalam Pasal 8 ayat 3.
Dalam beleid juga dijelaskan bahwa pedagang online dengan penghasilan bruto di atas Rp500 juta per tahun wajib menyerahkan surat pernyataan kepada penyelenggara marketplace untuk dikenakan pemotongan pajak.
“Dalam hal Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memiliki Peredaran Bruto melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), Pedagang Dalam Negeri harus menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan melebihi Rp500.000.000,00,” bunyi Pasal 6 ayat 6.
Surat pernyataan tersebut harus disampaikan paling lambat pada akhir bulan saat peredaran bruto pedagang melebihi Rp500 juta.
Aturan terbaru tersebut dianggap sebagai langkah pemerintah dalam memperluas basis pajak, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.