Home Internasional Bicara di AFPC, Wali Nanggroe: Asia Tenggara Butuh Lebih Banyak Kepercayaan, Bukan Dominasi
Internasional

Bicara di AFPC, Wali Nanggroe: Asia Tenggara Butuh Lebih Banyak Kepercayaan, Bukan Dominasi

Membangun Perdamaian dari Luka: Wali Nanggroe Ajak Asia Tenggara Belajar dari Pengalaman Aceh

Share
Bicara di AFPC, Wali Nanggroe: Asia Tenggara Butuh Lebih Banyak Kepercayaan, Bukan Dominasi
Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, saat menjadi pembicara dalam ASEAN For the Peoples Conference (AFPC) 2025, di Sultan Hotel & Residence, Jakarta (5/10/2025). | Dok. Humas Wali Nanggroe
Share

PUNCA.CO – Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, menegaskan, Asia Tenggara membutuhkan lebih banyak kepercayaan, bukan dominasi, untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Hal itu disampaikan saat menjadi pembicara dalam ASEAN For the Peoples Conference (AFPC) 2025, di Sultan Hotel & Residence, Jakarta (5/10/2025).

Kepala Bagian Kerjasama dan Humas Wali Nanggroe, Zulfikar Idris, dalam keterangannya mengatakan, konferensi itu diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). AFPC sendiri merupakan forum konsorsium organisasi masyarakat sipil terbesar di Asia Tenggara.

Baca juga: Polda Aceh Berhasil Ungkap 80,5 Kg Sabu dan 1,3 Ton Ganja Selama Tiga Bulan Terakhir

Wali Nanggroe hadir pada kegiatan itu didampingi Staf Khusus Dr. Muhammad Raviq. Beliau menjadi pembicara bersama sejumlah tokoh dari Asia Tenggara, antara lain Amb. Nelson Santos (Penasihat Presiden Timor-Leste), Imam (PCOL) Ebra M. Moxsir (Ret.), Presiden Dewan Imam Nasional Filipina, serta Debbie Stothard, pendiri organisasi hak asasi manusia ALTSEAN Burma. Sesi tersebut dipandu oleh jurnalis independen asal Malaysia, Amy Chew.

Wali Nanggroe menuturkan, rekonsiliasi bukan sekadar kata kunci politik, melainkan pengalaman hidup yang telah membentuk Aceh dan dirinya secara pribadi.

Poster kegiatan ASEAN For the Peoples Conference (AFPC) 2025. | Dok. Ist

“Merupakan sebuah kehormatan sekaligus tanggung jawab yang mendalam bagi saya untuk hadir di forum ini, berbicara tentang rekonsiliasi, sebuah tema yang telah membentuk hidup saya, tanah kelahiran saya di Aceh, bahkan sebagian besar perjalanan Asia Tenggara,” kata Wali Nanggroe.

Konflik bersenjata di Aceh berlangsung lebih dari tiga dekade antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, titik balik terjadi pada 2005 saat penandatanganan Perjanjian Damai Helsinki.

“Saat itu, duduk berhadapan dengan pihak yang dulu menjadi lawan, lalu menorehkan tanda tangan pada sebuah dokumen yang mengakhiri konflik panjang, adalah momen paling menentukan,” tutur Wali Nanggroe.

Baca juga: Rumah Warga di Simpang Tiga Terbakar, Harta Benda Tak Bersisa

Peristiwa itu, tambah Wali Nanggroe, membuktikan bahwa konflik yang paling keras sekalipun bisa diakhiri melalui dialog, kompromi, dan yang terpenting adalah kepercayaan.

Lebih lanjut, Wali Nanggroe juga menyoroti apa yang disebut sebagai ASEAN Way, pendekatan yang menekankan musyawarah, konsensus, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara.

“Dalam perdamaian Aceh, fasilitator internasional memang menyediakan ruang netral. Namun, penggerak utama perdamaian adalah tekad dan inisiatif kami sendiri sebagai bangsa Indonesia dan rakyat Aceh,” tegas Wali Nanggroe.

Baca juga: Pemekaran Aceh Besar, Bupati Usul Nama Darussalam Agar Identitas Terjaga

Rekonsiliasi tidak bisa dipaksakan dari luar, tapi harus lahir dari kepemilikan lokal, dengan dukungan internasional yang bersifat melengkapi, bukan mendominasi.

Wali Nanggroe juga menyinggung berbagai krisis yang masih membayangi Asia Tenggara, mulai dari konflik di Myanmar hingga sengketa perbatasan antarnegara. Wali Nanggroe mengingatkan, pelajaran dari Aceh menunjukkan bahwa perdamaian yang kokoh hanya lahir ketika semua pihak dilibatkan.

“Jika kita mengecualikan satu pihak, kita memperpanjang jurang ketidakpercayaan. Jika kita merangkul semua pihak, kita menanam benih rekonsiliasi.” ujarnya.

Baca juga: Kapolda Aceh Ajak Semua Kalangan Sebarkan Aura Positif untuk Aceh

Di tengah meningkatnya ketegangan global dan mandeknya banyak proses perdamaian dunia, Wali Nanggroe menilai Asia Tenggara menawarkan model alternatif: pendekatan yang tulus dan berlandaskan martabat manusia, bukan dominasi geopolitik.

Dunia bisa belajar dari Aceh, dari Mindanao, dari Timor-Leste, bahwa rekonsiliasi tetap mungkin, bahkan setelah puluhan tahun perang. Kuncinya bukan pada kekuatan militer, melainkan pada keberanian moral untuk mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan, dan musuh menjadi mitra.

Menutup pidatonya, Wali Nanggroe menegaskan, rekonsiliasi adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Perdamaian Aceh, yang telah bertahan hampir dua dekade, merupakan bukti nyata bahwa kepercayaan dapat membangun kembali kehidupan.

“Ukuran sejati rekonsiliasi bukan pada tanda tangan di atas kertas, melainkan pada kehidupan yang bangkit kembali, anak-anak yang tumbuh tanpa rasa takut, dan harapan yang Asia Tenggara dapat persembahkan kepada dunia yang begitu merindukan perdamaian,” sebut Wali Nanggroe.[]

Share
Tulisan Terkait

Wali Nanggroe Penuhi Undangan Hari Kebangsaan Malaysia

PUNCA.CO – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar,...

Akademisi: Revisi UUPA Bukan Sekadar Regulasi, Tapi Taruhan Masa Depan Aceh

PUNCA.CO – Langkah Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyerahkan...

Kunjungi Pascasarjana USK, BRA Bahas Kerja Sama Perdamaian Aceh

PUNCA.CO – Badan Reintegrasi Aceh (BRA) melakukan kunjungan resmi ke Sekolah Pascasarjana...

Hadiri Forum EEF di Rusia, Wali Nanggroe Ucapkan Terimakasih untuk Presiden Putin

PUNCA.CO – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al...