PUNCA.CO – Kerusakan akses transportasi pascabencana memaksa warga mengandalkan jalur penyeberangan darurat untuk beraktivitas. Di tengah keterbatasan dan risiko yang ada, jalur ini menjadi satu-satunya penghubung bagi warga yang ingin melanjutkan perjalanan.
Mona Syifa, mahasiswi Universitas Syiah Kuala asal Lhokseumawe, memilih menggunakan penyeberangan darurat setelah kegiatan perkuliahan diliburkan akibat dampak bencana. Padamnya listrik dan terganggunya fasilitas umum membuat kampus menghentikan sementara aktivitas belajar mengajar.
“Karena kondisi belum memungkinkan untuk kuliah, saya memutuskan pulang,” kata Mona, Sabtu (20/12/2025).
Baca juga: Beredar Dugaan Penjarahan Kendaraan Korban Banjir, Aparat Diminta Perketat Pengawasan
Bagi Mona, ini merupakan pengalaman pertamanya menyeberang melalui jalur darurat tersebut. Ia mengaku sempat diliputi rasa takut, terlebih setelah mendengar kabar adanya warga yang hanyut di lokasi yang sama.
“Takut pasti ada, apalagi ini pertama kali,” ujarnya.
Meski begitu, ketiadaan jalur alternatif membuat warga tetap melintas. Keberadaan petugas serta perlengkapan keselamatan yang disediakan dinilai cukup membantu memberikan rasa aman bagi pengguna penyeberangan.
“Paling tidak ada pengawasan, jadi sedikit lebih tenang,” katanya.
Mona menyeberang bersama seorang temannya dari Banda Aceh. Setibanya di seberang, ia akan dijemput keluarganya untuk melanjutkan perjalanan menuju Lhokseumawe.
Baca juga: Bertemu dengan Wali Nanggroe, Dubes Uni Eropa Sampaikan Simpati Bencana Aceh
Warga dikenakan tarif Rp10.000 per orang untuk menyeberang. Sementara biaya untuk barang bawaan menyesuaikan kondisi di lapangan. Meski terbilang terjangkau, warga berharap jalur ini hanya bersifat sementara.
Di tengah situasi darurat, penyeberangan ini menjadi tumpuan mobilitas warga. Mereka berharap perbaikan infrastruktur segera dilakukan agar aktivitas masyarakat kembali berjalan normal tanpa dibayangi rasa cemas.






