PUNCA.CO – Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar Seminar Nasional bertema ‘Rancangan Undang-Undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan’ pada Kamis, (17/4/2025) di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK.
Kegiatan ini menanggapi pembahasan RUU KUHAP oleh pemerintah dan DPR, sebagai tindak lanjut dari pengesahan KUHP baru yang akan berlaku pada 1 Januari 2026. Seminar menghadirkan empat narasumber: Laode M. Syarif, Prof. Dr. Rizanizarli, Dr. Alpi Sahari, dan Dr. Syahrul Rizal, serta diikuti oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan.
Diskusi menyoroti sejumlah isu penting dalam RUU KUHAP, seperti perpanjangan masa penahanan, penggunaan saksi mahkota, penyidikan tanpa pemberitahuan ke jaksa, lemahnya perlindungan saksi, hingga perluasan kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Ketentuan mengenai kekebalan advokat dalam menjalankan tugas juga turut dikritisi karena belum memiliki definisi jelas.
Laode M. Syarif menilai RUU KUHAP memiliki peluang modernisasi hukum, namun juga memuat potensi ancaman. “Peluang lainnya adalah menyempurnakan mekanisme check and balance. Namun, ancamannya adalah aparat penegak hukum (APH), baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim, enggan untuk diawasi. Selain itu, upaya menyeimbangkan crime control model dan due process of law juga masih menghadapi tantangan karena APH dan DPR masih cenderung berpihak pada crime control model,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, “Jika kita tidak hati-hati, revisi ini bisa menjadi instrumen legal untuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman suara publik. Negara hukum harus dibangun di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, bukan ketakutan.”
Dr. Alpi Sahari ikut menegaskan, “Dominus Litis penuntut umum yang dimaknai sebagai pemisahan kewenangan (diferensiasi fungsional) tidak selaras dengan cita-cita hukum nasional melainkan kembali pada pemberlakuan hukum acara pada zaman kolonial Belanda, yakni Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang sudah lama ditinggalkan sejak Tahun 1981.”
Prof. Dr. Rizanizarli menambahkan, “Kekuasaan penyidikan yang dulunya menjadi dominus litis kejaksaan dipisahkan dengan diberikannya kepada pihak kepolisian. Hal ini dikuatirkan jika kekuasaan menumpuk pada satu lembaga rentan untuk disalahgunakan. Pembagian kekuasaan ini diharapkan terdapat mekanisme kontrol (check and balances) dan saling mengawasi antar lembaga.”
Dr. Syahrul Rizal mengingatkan pentingnya posisi advokat tetap aman. “Ketidakjelasan definisi itikad baik justru berpotensi menjadi bumerang,” katanya.
Beberapa peserta mengusulkan agar draf RUU KUHAP dibuka untuk uji publik di berbagai daerah. “RUU ini bukan hanya urusan para ahli di Jakarta. Kami yang di daerah juga punya hak untuk didengar,” ujar salah satu peserta dari LSM lokal.
Para narasumber sepakat bahwa pembaruan KUHAP harus menjamin keadilan, menghindari konflik kewenangan, dan melibatkan publik secara aktif agar tidak menjadi alat represi, melainkan penegak keadilan yang beradab dan akuntabel.






