PUNCA.CO – Kewenangan Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya semakin tergerus oleh regulasi pusat. Hal ini disampaikan oleh Kabid Minerba Dinas ESDM Aceh, Khairil Basyar, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh ASME Hotel Kriyad Muraya pada Rabu (19/2). Acara tersebut dibuka oleh Ketua ASME, Uswatun Hasanah, dan dipimpin oleh Juanda Djamal sebagai moderator. Diskusi berlangsung dinamis dengan melibatkan akademisi dari Universitas Syiah Kuala (USK), praktisi, perwakilan pemerintah Aceh, serta industri tambang dan migas.
FGD ini merupakan kolaborasi ASME dengan PT PEMA yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh dan mencari solusi atas tantangan investasi di sektor tambang dan migas di Aceh. Dalam paparannya, Khairil Basyar menjelaskan bahwa Aceh memiliki kewenangan untuk mengelola hasil bumi berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 56, yang menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam adalah hak pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, tanpa menyebutkan keterlibatan pemerintah pusat.
Baca juga: ASME Gandeng PT. PEMA Bahas Investasi Tambang dan Migas
Saat ini, Aceh memiliki 14 IUP batu bara, dengan rincian 5 berstatus evaluasi dan 9 telah beroperasi. Untuk logam, terdapat 30 IUP, di mana 19 masih dalam evaluasi dan 11 sudah berproduksi. Sementara itu, IUP non-logam berjumlah 17 dengan 6 dalam tahap evaluasi dan 11 telah beroperasi. IUP batuan menjadi yang terbanyak, mencapai 250 izin. Sementara itu, Penanaman Modal Asing (PMA) di Aceh terdiri dari 4 IUP, dengan 3 dalam tahap eksplorasi dan 1 telah berproduksi.
Namun, dalam praktiknya, kewenangan Aceh terus mengalami tantangan. Regulasi nasional, seperti PP yang mengatur bahwa 12 mil ke darat menjadi kewenangan Aceh, sementara 12 mil ke atas menjadi kewenangan pusat, masih menimbulkan perdebatan. Bahkan, surat dari Menteri Dalam Negeri telah menegaskan kekhususan Aceh dalam penerbitan izin dan pengelolaan sumber daya alam. Namun, Kementerian ESDM masih melakukan pengawasan terhadap Aceh, yang menurut Khairil Basyar seharusnya tidak perlu terjadi.

“Sebenarnya secara aturan, kementrian ESDM tidak perlu lagi melakukan pengawasan terhadap Aceh, “tegas Khairil Basyar, Kabid Minerba Dinas ESDM Aceh
Masalah lain muncul dengan adanya MODI (Minerba One Data Indonesia) adalah aplikasi berbasis web yang digunakan untuk mengelola data pertambangan. Aplikasi ini dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba). Hadirnya sistem terbaru ini menghambat izin baru yang dikeluarkan pemerintah Aceh karena tidak terdaftar di dalamnya. Padahal, berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 173a, regulasi nasional hanya berlaku bagi daerah yang tidak memiliki kekhususan. Dengan adanya UUPA, seharusnya UU No. 3 tersebut tidak berlaku di Aceh.
Dalam upaya memperkuat kewenangan Aceh, Khairil Basyar mendukung peran Wali Nanggroe dalam penerbitan izin tambang. Menurutnya, diperlukan bidang khusus di dalam struktur Wali Nanggroe yang bertugas mengawasi dan memperkuat kewenangan Aceh. Jika tidak, kewenangan yang dimiliki saat ini akan semakin terkikis hingga hanya menjadi catatan sejarah.
Salah satu solusi yang dibahas dalam FGD ini adalah perlunya revisi terhadap Qanun Minerba, khususnya Pasal 11, agar proses perizinan tambang di Aceh dilakukan melalui mekanisme lelang. Sayangnya, pemerintah pusat belum menyetujui usulan tersebut. Qanun tersebut saat ini sudah masuk dalam tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan menunggu pengesahan. Dalam qanun tersebut, perusahaan tambang di Aceh akan diwajibkan bermitra dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) dilevel terkecil, bukan lagi dengan individu (tokoh-tokoh setempat).
Namun, pengesahan qanun ini masih terhambat oleh adanya pihak yang menolak mekanisme lelang, karena dianggap mengurangi kewenangan Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. Menurut Khairil pemerintah Aceh sudah berupaya semaksimal mungkin, dia berharap kedepannya selain komunikasi dan komplain yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Aceh ke pusat, diperlukan dukungan politik yang lebih kuat agar kewenangan yang ada dapat dipertahankan dan dijalankan secara maksimal.