PUNCA.CO – Penetapan Salmawati, istri Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf (Mualem), sebagai pengganti Ismail A. Jalil (Ayah Wa), anggota DPRA terpilih dapil 5, menuai sorotan tajam. Ayah Wa yang sebelumnya mengundurkan diri karena maju sebagai calon Bupati Aceh Utara tersebut, oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pun resmi mengangkat Salmawati sebagai penggantinya.
Namun keputusan itu langsung mendapat kritik dari aktivis dan politisi perempuan Aceh, Cut Farah Meutia. Ia menilai penunjukan Salmawati justru mencederai kepercayaan publik terhadap Partai Aceh, terutama dari basis pemilih para kader potensial yang sebelumnya diberhentikan.
“Penetapan Bunda Salma menggantikan Ayah Wa semakin menegaskan bahwa Partai Aceh tidak lagi berpihak pada suara rakyat. Terutama bagi pemilih di basis Cek Mad, Ermiadi, dan Keuchik Wan. Mereka memilih bukan untuk orang dekat elite, tapi yang punya suara dan dukungan riil di masyarakat,” ujar Cut Farah kepada PUNCA.CO, Rabu (16/4/2025).
Diketahui, Partai Aceh sebelumnya telah memecat tiga kader utamanya, Muhammad Thaib alias Cek Mad, Anwar Sanusi (Keuchik Wan), dan Ermiadi, pada 5 Maret 2025. Ketiganya dikenal memiliki basis dukungan kuat di tingkat akar rumput dapil 5.
“Cek Mad, misalnya, berasal dari basis Partai Aceh di wilayah Paya Bakong, Nibong, Simpang Rangkaya, hingga Parang Sikureung. Masyarakat di sana pasti kecewa karena utusan mereka dikhianati,” ujarnya.
Farah juga menyoroti dampak serupa di wilayah kekuatan politik Ermiadi di Lhokseumawe dan sekitarnya. Juga di Krueng Geukuh, Nisam, Nisam Antara, dan Sawang merupakan basis tradisional Keuchik Wan yang selama ini dikenal sebagai ‘daerah merah’ Partai Aceh.
“Hari ini suara utusan mereka justru dibajak oleh Bunda Salma. Apakah ini yang disebut representasi rakyat?” tegas Farah.
Menurutnya, meski massa dari ketiga tokoh tersebut tidak akan menggugat secara terbuka, kekecewaan mereka akan tercermin dalam bentuk penarikan dukungan secara perlahan.
“Partai Aceh sedang kehilangan simpati pemilih rasional. Jika ini dibiarkan, lima tahun ke depan PA bisa mengalami krisis pemilih dan kader,” ujarnya.
Ia juga memperingatkan potensi perpecahan internal partai. Menurut Farah, keputusan menggantikan Ayah Wa dengan Salmawati memperlihatkan bahwa kedekatan dengan elite lebih penting daripada loyalitas dan suara rakyat.
“Yang penting sekarang adalah, siapa dekat dengan siapa,” sindirnya.
Lebih jauh, Farah menilai situasi ini bisa menjadi preseden (percontohan) buruk bagi demokrasi lokal di Aceh.
“Preseden ini bisa membuka jalan manipulasi serupa di masa depan. Cukup selembar surat pemecatan untuk mengganti wakil rakyat yang sah,” tambahnya.
Ia juga menyinggung kemungkinan konsekuensi hukum jika para kader yang dipecat menggugat ke PTUN dan dimenangkan. Hal itu bisa membatalkan proses PAW serta mencoreng nama baik Partai Aceh. Bahkan, menurut Farah, situasi ini bisa memicu pengawasan lebih ketat dari KPU dan Bawaslu atas dugaan intervensi ilegal.
“Yang dilakukan Mualem hari ini bukan hanya mempertontonkan praktik politik curang, tapi juga menciptakan luka dalam demokrasi Aceh. Ini akan tercatat dalam sejarah,” pungkasnya.
Lanjutnya, “Mendukung Bunda Salma sama dengan mencederai demokrasi” tutup Cut Farah.