Penjaga Adat dan Tradisi Aceh
Lembaga Wali Nanggroe merupakan institusi yang bertugas mengatur dan memimpin adat di Aceh, sekaligus menjadi simbol pemersatu masyarakat. Lembaga ini berperan dalam menjaga kewibawaan dan mengawasi pelaksanaan tradisi serta adat-istiadat, termasuk penganugerahan gelar kehormatan. Selain itu juga berfungsi sebagai pelindung warisan sejarah, adat, dan kebudayaan Aceh.
Keberadaan-nya merupakan bagian dari kekhususan Aceh yang diamanatkan oleh perjanjian damai MoU Helsinki tahun 2005. Aturan mengenai lembaga ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang selanjutnya dirincikan melalui Qanun Aceh, yang mengukuhkan peran-nya dalam menjaga tradisi dan martabat masyarakat Aceh.
Di angkat oleh Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh
Lembaga Wali Nanggroe di Aceh berawal dari perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang kuat, terutama setelah masuknya Islam pada abad ke-13. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan salah satu pemimpin yang memperkuat struktur pemerintahan monarki di Aceh. Pada masa Sultan Iskandar Muda, terjadi perubahan signifikan, dimana Iskandar Tsani, yang bukan anak-nya diangkat sebagai penerus melanjutkan kesinambungan dalam sistem kepemimpinan.
Pada masa kolonial, Aceh menghadapi perang besar melawan Belanda. Perang perlawanan Aceh tersebut dimulai pada 26 Maret 1873, dipimpin oleh Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman. Meskipun Belanda mengalami kekalahan pada awalnya, ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Jan van Swieten berhasil menguasai Kuta Radja pada 1874. Dalam situasi darurat tersebut, Tengku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman diangkat sebagai Wali Nanggroe oleh Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh.
Tengku Tjhik Di Tiro memimpin perang selama 17 tahun hingga wafat pada 29 Desember 1891. Perjuangannya diteruskan oleh keturunan-nya, namun banyak dari mereka yang gugur dalam perlawanan melawan penjajah. Wali Nanggroe terus memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Aceh, hingga akhirnya pada tahun 1976, Tengku Hasan Muhammad Di Tiro mendeklarasikan perjuangan kemerdekaan Aceh.
Lembaga Wali Nanggroe Pasca Perdamaian Aceh
Lembaga Wali Nanggroe dibentuk sebagai salah satu hasil kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Dalam perjanjian tersebut, tercantum bahwa Aceh akan memiliki Lembaga Wali Nanggroe lengkap dengan perangkat upacara dan gelarnya.
Pembentukan lembaga ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan pengesahan lebih lanjut dilakukan melalui Qanun Aceh. Prinsip-prinsip hukum internasional, seperti asas “lex specialis” dan “pacta sunt servanda”, menjadi dasar kuat untuk pembentukan lembaga ini.
Wali Nanggroe memiliki gelar kehormatan “Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik,” yang diwariskan dari tradisi Kerajaan Aceh. Pada 16 Desember 2013, Tengku Malik Mahmud Al-Haytar dilantik sebagai Wali Nanggroe ke-9, memegang peran penting sebagai simbol persatuan pasca-perdamaian di Aceh.
Nama- nama Wali Naggroe Aceh, sebelum hingga sesudah perjanjian MoU Helsingki, sebagai berikut:
1. Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bin Teungku Syeikh Abdullah
2. Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman
3. Tengku Tjhik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
4. Tengku Tjhik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman
5. Tengku Tjhik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
6. Tengku Tjhik di Tiro Mahyuddin bin Muhammad Saman
7. Tengku Tjhik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin
8. Tengku Hasan di Tiro bin Leube Muhammad
9. Teungku Malik bin Haji Mahmud Al Haytar (Wali Nanggroe Aceh Sekarang)